Jumat, 18 Februari 2011

HERPES SIMPLEKS







 HERPES SIMPLEKS
Virus herpes simpleks adalah merupakan virus DNA, dan seperti virus DNA yang lain mempunyai karakteristik melakukan replikasi didalam inti sel dan membentuk intranuclear inclusion body. Intranuclear inclusion body yang matang perlu dibedakan dari sitomegalovirus. Karakteristik dari lesi adalah adanya central intranuclear inclusion body eosinofilik yang ireguler yang dibatasi oleh fragmen perifer dari kromatin pada tepi membran inti.
Berdasarkan perbedaan imunologi dan klinis, virus herpes simpleks dapat dibedakan menjadi dua tipe yaitu :
1. Virus herpes simpleks tipe 1 yang menyebabkan infeksi herpes non genital, biasanya pada daerah mulut, meskipun kadang-kadang dapat menyerang daerah genital. Infeksi virus ini biasanya terjadi saat anak-anak dan sebagian besar seropositif telah didapat pada waktu umur 7 tahun..
2. Virus herpes simpleks tipe 2 hampir secara eksklusif hanya ditemukan pada traktus genitalis dan sebagian besar ditularkan lewat kontak seksual.
Infeksi Herpes Simpleks ditandai dengan episode berulang dari lepuhan-lepuhan kecil di kulit atau selaput lendir, yang berisi cairan dan terasa nyeri.
Herpes simpleks menyebabkan timbulnya erupsi pada kulit atau selaput lendir. Erupsi ini akan menghilang meskipun virusnya tetap ada dalam keadaan tidak aktif di dalam ganglia (badan sel saraf), yang mempersarafi rasa pada daerah yang terinfeksi.
Secara periodik, virus ini akan kembali aktif dan mulai berkembangbiak, seringkali menyebabkan erupsi kulit berupa lepuhan pada lokasi yang sama dengan infeksi sebelumnya.
Virus juga bisa ditemukan di dalam kulit tanpa menyebabkan lepuhan yang nyata, dalam keadaan ini virus merupakan sumber infeksi bagi orang lain.
Timbulnya erupsi bisa dipicu oleh:
1.      Pemaparan cahaya matahari
2.      Demam
3.      Stres fisik atau emosional
4.      Penekanan sistem kekebalan
5.      Obat-obatan atau makanan tertentu.


PENYEBAB
Terdapat 2 jenis virus herpes simpleks yang menginfeksi kulit, yaitu HSV-1 dan HSV-2. 

HSV-1 merupakan penyebab dari luka di bibir (herpes labialis) dan luka di kornea mata (keratitis herpes simpleks); biasanya ditularkan melalui kontak dengan sekresi dari atau di sekitar mulut.
HSV-2 biasanya menyebabkan herpes genitalis dan terutama ditularkan melalui kontak langsung dengan luka selama melakukan hubungan seksual.
GEJALA
Herpes simpleks yang kambuh ditandai dengan adanya kesemutan, rasa tidak nyaman atau rasa gatal, yang dirasakan beberapa jam sampai 2-3 hari sebelum timbulnya lepuhan.
Lepuhan yang dikelilingi oleh daerah kemerahan dapat muncul di mana saja pada kulit atau selaput lendir, tetapi paling sering ditemukan di dalam dan di sekitar mulut, bibir dan alat kelamin.
Lepuhan (yang bisa saja terasa nyeri) cenderung membentuk kelompok, yang begabung satu sama lain membentuk sebuah kumpulan yang lebih besar.
Beberapa hari kemudian lepuhan mulai mengering dan membentuk keropeng tipis yang berwarna kekuningan serta ulkus yang dangkal.
Penyembuhan biasanya dimulai dalam waktu 1-2 minggu kemudian dan biasanya sembuh total dalam waktu 21 hari. Tetapi penyembuhan di bagian tubuh yang lembab berjalan lebih lambat.
Jika erupsi tetap berkembang pada tempat yang sama atau jika terjadi infeksi bakteri sekunder, maka bisa timbul beberapa jaringan parut.
Infeksi herpes yang pertama pada bayi atau anak kecil bisa menyebabkan luka yang terasa nyeri dan perdangan pada mulut dan gusi (ginggivostomatitis) atau peradangan vulva dan vagina yang terasa nyeri (vulvovaginitis).
Keadaan ini menyebabkan anak menjadi rewel, nafsu makannya menurun dan demam. Pada bayi dan anak yang lebih besar, infeksi bisa menyebar melalui darah ke organ dalam (termasuk otak).
Seorang ibu hamil yang menderita infeksi HSV-2 bisa menularkan infeksi kepada janinnya, terutama jika infeksi terjadi pada usia 6-9 bulan kehamilan.
Virus herpes simpleks pada janin bisa menyebabkan peradangan ringan selaput otak (meningitis) atau kadang menyebabkan peradangan otak yang berat (ensefalitis).
Jika bayi atau dewasa yang menderita eksim atopik terinfeksi oleh virus herpes simpleks, maka bisa terjadi eksim herpetikum, yang bisa berakibat fatal. Karena itu penderita eksim atopik sebaiknya tidak berhubungan dengan penderita infeksi herpes yang aktif.
Pada penderita AIDS, infeksi herpes di kulit bisa bersifat menetap dan berat. Peradangan kerongkongan dan usus, ulkus di sekitar anus, pneumonia atau kelainan saraf juga lebih sering terjadi pada penderita AIDS.
Abses herpetik (herpetic whitlow) adalah suatu pembengkakan di ujung jari tangan yang terasa sakit dan berwarna kemerahan, yang disebabkan oleh virus herpes simpleks yang masuk melalui luka di kulit.
Abses herpetik paling sering terjadi pada pegawai rumah sakit yang belum pernah menderita herpes simpleks dan bersentuhan dengan cairan tubuh yang mengandung virus herpes simpleks.
Penyebaran
Virus herpes simpleks menyebar melalui kontak tubuh secara langsung dan sebagian besar dengan kontak seksual. Dalam keadaan tanpa adanya antibodi , kontak dengan partner seksual yang menderita lesi herpes aktif, sebagian besar akan mengakibatkan penyakit yang bersifat klinis. Penyebaran tanpa hubungan sexual dapat terjadi melalui autoinokulasi pada penderita infeksi virus herpes simpleks atau dengan cara lain yang dibuktikan pada kasus herpes genital pada anak-anak.
Penyebaran transplasenta sangat jarang terjadi dan masih belum jelas, tetapi diduga tidak jauh berbeda dengan penularan virus herpes yang lain seperti sitomegalovirus, Epstein-Barr virus dan lain-lain.
Penularan pada bayi dapat terjadi bila janin yang lahir kontak dengan virus pada ibu yang terinfeksi virus aktif dari jalan lahirnya dan ini merupakan penularan pada neonatal yang paling sering terjadi. Meskipun demikian kejadian herpes neonatal kecil sekali yaitu 1 : 25 000 kelahiran . Beberapa keadaan yang mempengaruhi terjadinya herpes neonatal adalah banyak sedikitnya virus, kulit ketuban masih utuh atau tidak, ada atau tidaknya lesi herpes genital, dan ada atau tidaknya antibodi virus herpes simpleks. Pada ibu hamil dengan infeksi primer dan belum terbentuk antibodi maka penularan dapat terjadi sampai 50 % sedangkan pada infeksi rekuren hanya 2,5 – 5 %.
Gejala kllinis
Secara umum gejala klinik infeksi virus herpes simpleks dapat dibagi dalam 2 bentuk yaitu :
1.      Infeksi primer yang biasanya disertai gejala ( simtomatik ) meskipun dapat pula tanpa gejala ( asimtomatik ). Keadaan tanpa gejala kemungkinan karena adanya imunitas tertentu dari antibodi yang bereaksi silang dan diperoleh setelah menderita infeksi tipe 1 saat anak-anak. Masa inkubasi yang khas selama 3 – 6 hari ( masa inkubasi terpendek yang pernah ditemukan 48 jam ) yang diikuti dengan erupsi papuler dengan rasa gatal, atau pegal-pegal yang kemudian menjadi nyeri dan pembentukan vesikel dengan lesi vulva dan perineum yang multipel dan dapat menyatu. Adenopati inguinalis yang bisa menjadi sangat parah. Gejala sistemik mirip influenza yang bersifat sepintas sering ditemukan dan mungkin disebabkan oleh viremia. Vesikel yang terbentuk pada perineum dan vulva mudah terkena trauma dan dapat terjadi ulserasi serta terjangkit infeksi sekunder. Lesi pada vulva cenderung menimbulkan nyeri yang hebat dan dapat mengakibatkan disabilitas yang berat. Retensi urin dapat terjadi karena rasa nyeri yang ditimbulkan ketika buang air kecil atau terkenanya nervus sakralis. Dalam waktu 2 – 4 minggu, semua keluhan dan gejala infeksi akan menghilang tetapi dapat kambuh lagi karena terjadinya reaktivasi virus dari ganglion saraf. Kelainan pada serviks sering ditemukan pada infeksi primer dan dapat memperlihatkan inflamasi serta ulserasi atau tidak menimbulkan gejala klinis.
2.      Infeksi rekuren. Setelah infeksi mukokutaneus yang primer, pertikel-partikel virus akan menyerang sejumlah ganglion saraf yang berhubungan dan menimbulkan infeksi laten yang berlangsung lama. Infeksi laten dimana partikel-partikel virus terdapat dalam ganglion saraf secara berkala akan terputus oleh reaktivasi virus yang disebut infeksi rekuren yang mengakibatkan infeksi yang asimtomatik secara klinis ( pelepasan virus ) dengan atau tanpa lesi yang simtomatik. Lesi ini umumnya tidak banyak, tidak begitu nyeri serta melepaskan virus untuk periode waktu yang lebih singkat (2 – 5 hari) dibandingkan dengan yang terjadi pada infeksi primer, dan secara khas akan timbul lagi pada lokasi yang sama. Walaupun sering terlihat pada infeksi primer, infeksi serviks tidak begitu sering terjadi pada infeksi yang rekuren.
Infeksi primer pada ibu dapat menular pada janin, meskipun jarang, melalui plasenta atau lewat korioamnion yang utuh dan dapat menyebabkan abortus spontan, prematuritas, ataupun kelainan kongenital dengan gejala mirip infeksi pada sitomegalovirus seperti mikrosefali, korioretinitis, IUGR. Janin hampir selalu terinfeksi oleh virus yang dilepaskan dari serviks atau traktus genitalis bawah setelah ketuban pecah atau saat bayi dilahirkan. Infeksi herpes pada bayi baru lahir mempunyai salah satu dari ketiga bentuk berikut ini :
1.         Disseminata ( 70 % ), menyerang berbagai organ penting seperti otak, paru. Hepar, adrenal, dan lain-lain dengan kematian lebih dari 50 % yang disebabkan DIC atau pneumonitis, dan yang berhasil hidup sering menderita kerusakan otak. Sebagian besar bayi yang terserang bayi prematur.
2.         Lokalisata ( 15 % ) dengan gejala pada mata, kulit dan otak dengan kematian lebih rendah dibanding bentuk disseminata, tetapi bila tidak diobati 75 % akan menyebar dan menjadi bentuk disseminata yang fatal. Bentuk ini sering berakhir dengan kebutaan dan 30 % disertai kelainan neurologis.
3.         Asimtomatik hanya terjadi pada sebagian kecil penderita herpes neonatal.
Diagnosis
Secara klinis bila didapatkan lesi yang khas maka dapat dicurigai infeksi virus herpes simpleks, tetapi diagnosis yang paling baik adalah ditemukannya virus dalam kultur jaringan. Sensitivitas pada pemeriksaan kultur hampir 95 % sebelum lesi tersebut membentuk krusta saat spesimen diperoleh dan ditangani dengan benar. Pada hakekatnya hasil positif palsu tidak ditemukan. Sayangnya pemeriksaan ini cukup mahal dan membutuhkan waktu lebih dari 48 jam, dan bahkan pada yang eksaserbasi asimtomatik diperlukan waktu yang lebih lama lagi mengingat titer virus yang lebih rendah.
Cara yang lebih cepat adalah dengan memeriksa adanya antibodi secara ELISA, dengan sensitivitas 97,5 % dan spesifisitas 98 % meskipun waktu yang dibutuhkan tetap lebih dari 24 jam. Metode serologi ini banyak dipakai dalam penelitian epoidemiologi dan secara luas mulai banyak dipakai meskipun manfaat dalam klinis masih diragukan karena sebagian besar populasi adalah seropositif untuk virus herpes simpleks tipe 1 sedang reaksi silang dengan virus herpes simpleks tipe 2 sering terjadi. Bila ditemukan serokonversi atau adanya IgM spesifik maka kemungkinan infeksi primer harus dipikirkan.
Penyembuhan
Prinsip utama adalah jangan biarkan virus dan bayi bertemu .Wanita yang terkena infeksi virus herpes genitalis dianjurkan untuk tidak hamil. Apabila ibu sudah terlanjur hamil hati-hati dengan ancaman partus prematurus dan viremia pada ibu karena penurunan daya tahan tubuh. Ibu yang terkena virus herpes genitalis dan bayi yang lahir dengan herpes neonatal dapat diobati dengan acyclovir atau vidarabine yang aman terhadap kehamilan maupun pada bayinya.
Karena beratnya ancaman infeksi virus herpes pada neonatus, persalinan perabdominam dianjurkan pada kasus-kasus dengan dugaan lesi herpes pada genitalia atau dengan kultur atau Pap smear terakhir yang memperlihatkan hasil positif untuk virus herpes. Kultur hanya dilakukan pada ibu dengan lesi herpetik yang mencurigakan. Bila tidak terdapat lesi, persalinan dapat dilakukan pervaginam.
Bayi yang lahir dengan ibu atau bapak yang sedang terserang herpes genital atau oral dapat dirawat gabung dengan ibu, dan dapat diberikan ASI bila tidak ada lesi pada puting dan dihindari kontak langsung dengan setiap lesi yang ada.
Sejak tahun 1980an mulai digunakan pengobatan antivirus untuk infeksi herpes dengan acyclovir. Acyclovir terkonsentrasi pada sel yang terinfeksi virus herpes simpleks dan tidak terkonsentrasi dalam sel yang tidak terinfeksi. Obat ini bersifat penghambat kompetitif terhadap polimerase DNA virus dan merusak rantai DNA. Mekanisme ini dapat menghambat pembentukan DNA virus dan mempunyai keamanan yang tinggi dengan selektivitas terhadap sel yang terinfeksi.
Acyclovir dapat digunakan dalam beberapa bentuk preparat antara lain krim untuk topikal, powder untuk intravena, kapsul oral dan suspensi oral. Preparat topikal digunakan dengan dioleskan pada daerah terinfeksi setiap 3 jam, 6 kali perhari, selama 7 hari. Acyclovir intravena diberikan pada kasus yang berat dengan dosis 5 mg/ kg setiap 8 jam selama 5 hari.
Kapsul oral acyclovir diindikasikan untuk 3 keadaan yaitu : Pengobatan infeksi primer, pengobatan infeksi ulang yang berat dan penekanan rekurensi yang sering dan berat. Dosis pemberian acyclovir oral adalah 200 mg, 5 kali perhari selama 10 hari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar