Rabu, 21 Januari 2015

REFERAT KELAINAN SALURAN REPRODUKSI



BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
KELAINAN SALURAN REPRODUKSI
Pada beberapa kasus, kehamilan dipersulit oleh kelainan saluran genitalia. Secara umum, kelainan-kelainan tersebut dianggap sebagai anomali perkembangan yang terjadi selama embriogenesis atau mungkin juga didapat dan disebabkan oleh proses-proses yang biasanya terjadi pada masa dewasa.

1.      KELAINAN PERKEMBANGAN SALURAN REPRODUKSI
Sejumlah defek genitourinaria akibat kelainan embriogenesis terjadi secara sporadis. Defek berat sering menimbulkan morbiditas serius bagi bayi dan ibunya. Pada sebagian, bahkan defek ringan pun dapat menyebabkan peningkatan insiden abortus iminens dan kelainan letak janin.
1.1. Embriogenesis Saluran Reproduksi
Untuk memahami etiologi kelaianan perkembangan vagina, serviks, dan uterus,kita mula-mula perlu memahami bagaimana struktur-struktur tersebut terbentuk. Secara singkat, perkembangan dimulai saat duktus metanefros membesar dan berhubungan dengan kloaka antaraminggu gestasi keempat sampaikelima. Antara minggu keempat dankelima, terbentuk dua tunas ureter disebelah distal dari duktus mesonefros dan mulai tumbuh ke arah kepala menuju mesonefros. Duktus mulleri (paramesonefros) terbentuk di kedua sisi antara gonad dan mesonefros yang sedang berkembang. Kedua duktus mulleri tersebut tumbuh ke arah bawah danlateral menuju duktus mesonefros dan akhirnya berbelok kearah medial untuk bertemu dan menyatu di garis tengah. Duktus mulleri yang berfusi turun ke arah sinus urogenitalis untuk bergabung dengan tuberkel mulleri. Hubungan erat antara duktus mulleri dan mesinefros penting secara klinis, karena kerusakan salah satu sistem duktus sering menyebabkan kerusakan keduanyakornu uterus, ginjal, dan ureter.
Uterus terbentuk dari penyatuan dua duktus mulleri pada sekitar minggu ke-10. Penyatuan mulai di bagian tengah dan kemudian meluas ke arah kaudal dan sefal. Sekarang uterus memiliki bentuk khas, dengan proliferasi sel di bagian atas dan peleburan sel-sel di kutub bawah secara simultan sehingga terbentuklah rongga uterus yang pertama. Rongga ini terletak di kutub bawah dengan irisan jaringan yang tebal di atasnya. Irisan jaringan tebal di bagian atas (septum) luruh secara perlahan sehingga tercipta rongga uterus.proses ini biasanya selesai padaminggu ke-20. Setiap kegagalan penyatuan dua duktus mulleri atau kegagalan penyerapan rongga di antara keduanya kana mneyebabkan terbentuknya kornu uterus yang terpisah atau menetapnya septum uterus dengan derajat bervariasi.
Vagina terbentuk diantara sinus urogenitalis dan tuberkel mulleri akibat larutnya korda sel di antara kedua struktur. Diperkirakan bahwa pelarutan inidimulai di himen dan meluas ke atas menuju serviks. Kegagalan proses ini akan menyebabkan korda sel menetap,dan agenesis vagina atau kelainan yang lebih ringan akan menyebabkan terbentuknya septum dengan derajat berbeda-beda.
1.1.1.      Pembentukan Dan Klasifikasi Kelainan Mulleri
Karena fusi dua duktus mulleri membentuk vagina, serviks, dan korpus uterus, golongan-golongan utama deformitas yang berasal dari tiga jenis defek embriologis dapat dikelompokkan sebagai berikut :
1.      Gangguan kanalisasi vagina menyebabkan terbentuknya septumvagina trasversal, atau pada bentuk paling ekstrim, tidak adanya vagina.
2.      Pematangan unilateral dukteus mulleri disertai gangguan atau tidak adanya perkembangan di duktus yang berlawanan menimbulkan cacat yangdiakibatkan oleh kelainan saluran kemih bagian atas.
3.      Kelainan tersering adalah tidak adanya atau kegagalan fusi kedua duktus mulleri di bagian tengah. Kegagalan total fusi mengahsilkan dua uterus, serviks, dan vagina yang sama sekali terpisah. Resorpsi jaringan yang tidak sempyrna di antara ke dua duktus mulleri uanh menyatu mengakibatkan terbentuknya septum uterus.
Berbagai klasifikasi untuk anomali-anomali ini pernah diajukan, tetapi belim ada yang benar-benar memuaskan. Salah satunya yang ditujukan untuk kelainan duktus mulleri diajukan oleh Buttram dan Gibbons (1979) dan didasarkan pada kegagalan perkembangan normal. Klasifikasi ini memisahkan beragam anomali menjadi kelompok-kelompok dengan gambaran klinis, prognosis untuk kehamilan, dan terapi yang serupa. Klasifikasi mencakup satu kategori untuk kelainan yang berkaitan dengan pajanan ke dietilstibestrol (DES) semasa janin. Anomali vagina tidak diklasifikasikan karena tidak berkaitan dengan kematian janin. Sering diakibatkan oleh uterus didelfis dan anomali bikornuata.
Klasifikasi Anomali Mulleri

I.   Agenesis atau hipoplasia mulleri segmental
      A.    Vagina
      B.     Serviks
     C.     Fundus
      D.    Anomali kombinasi
II.  Uterus unikornuata
     A.    Dengan kornu rudimeter
1.      Dengan rongga endometrium
a.       Komunikans
b.      Nonkomunikans
2.      Tanpa rongga endometrium
      B.     Tanpa kornu rudimeter
III. Uterus didelfis
IV. Uterus bikornuata
     A.    Sempurna (terbagi sampai os interna)
     B.     Parsial
     C.     Arkuata
V.  Uterus septata
     A.    Sempurna (septum samapi os interna)
      B.     Parsial
VI. Dietilstibestrol

1.2. Kelainan Vulva
Atresia vulva total atau atresia bagian bawah vagina tidak memungkinkan terjadinya konsepsi, kecuali apabila diperbaiki. Umumnya atresia vulva bersifatinkomplit, terjadi akibat perlekatan atau jaringan parut setelah cedera atau infeksi. Defek ini dapat cukup menghambat pelahiran,tetapi resistensi biasanya akhirnya teratasi oleh tekanan berkepanjangan yang ditimbulkan oleh kepala janin. Hal ini dapat menyebabkan robekan perineum yang dalam kecuali apabila dicegah dengan episiotomi yang memadai.

1.3. Kelainan Vagina
Terdapat beberapa kemungkinan kelainan perkembangan vagina :
1.      Tunggal. Vagina normal.
2.      Bersekat longitudinal. Septum longitudinal sempurna atautidak sempurna.
3.      Ganda.vagina ganda sering sulit dibedakan dengan vagina berseptum sempurna. Vagina ganda sejati memiliki dua introitus dan menyerupai senapan laras ganda, dengan masing-masing saluran berakhir di serviks yang terpisah dan tersendiri. Kadang-kadang pada vagina ganda salah satunya buntu.
4.      Bersekat transversal. Hal ini terjadi lebih akibat kegagalan kanalisasi duktus mulleri primordial yang telah meneyatu daripada kegagalan fusi longitudinal. Vagina septata biasanya dijumpai saat pemeriksaan dalam urin rutin atau oleh wanita yang bersangkutan saat menyadari bahwa tampon vagina tidak selalu efektif menyerap darah haid.

1.3.1.      Septum Dan Striktur
Septum longitudinal sempurna biasanya tidak menyebabkan distosia karena seluruh vagina tempat lewatnya janin secara berangsur-angsur akan berdilatasi dengan memuaskan. Namun, septum yang tidak sempurna kadang-kadang mengganggu penurunan janin. Pada kasus seperti ini, septum dapat teregang di sekitar bagian presentasi menjadi suatu pita dengan ketebalan bervariasi. Kadang-kadang septum cukup resisten sehingga harus dipotong atau harus dilakukan seksio sesarea.
Walaupun jarang, vagina dapatmengalami obstruksi oleh pitaatau striktur anular kongenital. Striktur ini kecil kemungkinannya mengganggu pelahiran secara serius karena biasanya melunak selama kehamilan dan kalah oleh kepala yang turun. Insisi jarang diperlukan.
Kadang-kadang vagina bagian atas terpisahdari jalan lahir lainnya oleh sebuah septum transversal dengan satu lobang kecil. Beberapa bentuk kelainan ini disebabkan oleh pajanan dietilstilbestrol (DES) ini utero. Striktur ini kadang-kadang disangka bagian atas kubah vagina, dan pada saat persalinan, lubang septum secara salah dianggap sebagai os eksterna yang tidak membuka. Setelah os eksterna mengalami pembukaan sempurna, kepala menekan septum dan menyebabkannya menonjol keluar. Apabila septum tidak kalah, penekanan ringan pada lubangnya akan menyebabkan dilatasi lebih lanjut, tetapi kadang-kadang siperlukan insisi silang agar pelahiran dapat berlangsung.

1.3.2.      Atresia
Atresia vagina kongenital sempurna, kecuali apabila diperbaiki secara bedah,merupakanpenghalangefektif bagi kehamilan. Atresia tidak sempurna dapat merupakan manifestasi kegagalan perkembangan atau akibat kecelakaan, misalnya jaringan parut karena cederaatau peradangan. Pada sebagian besar kasus atresia parsial, obstruksi secara bertahap diatasi oleh tekanan yang ditimbulkan oleh bagian terbawah janin karena pada kehamilan terjadi perlunakan jaringan. Kadang-kadang dibutuhkan dilatasi manual atau hidrostatik atau insisi atau bahkan seksio sesarea.

1.4. Kelainan Serviks Dan Uterus
1.4.1.      Jenis Serviks
Dalam kaitannya dengan perkembangan, terdapat sejumlah anomali serviks.
1.      Tunggal. Serviks normal.
2.      Septata. Serviks terdiri dari satu cincin otot yang dibagi oleh sebuah sekat. Sekat mungkin terbatas di serviks, atau yang lebih sering, merupakan lanjutan ke bawah dari septum uterus atau perluasan ke atas dari septumvagina.
3.      Ganda. Dua serviks tersendiri, masing-masing terbentuk dari pematangan duktus mulleri yang berbeda.baik serviks bersekat maupun serviks ganda sejati sering disertai oleh septum vagina longitudinal. Sayangnya, banyak serviks bersekat secara salah digolongkan sebagai serviks ganda.
4.      Hemiserviks tunggal. Keadaan ini terjadi akibat pematangan mulleri unilateral.

1.4.2.      Diagnosis Malformasi Serviks Dan Uterus
Beberapa dari kelainan ini ditemukan melalui inspeksi biasa atau sewaktu pemeriksaan bimanual. Kelainan-kelainan ini sering dijumpai saat seksio sesarea atau eksplorasi manual rongga uterus setelah melahirkan. Takikdi fundus, yang dipalpasi melalui abdomen, umumnya mengisyaratkan malformasi uterus. Penapisan dengan ultrasonografi untuk mencari anomali, walaupun 90 persen spesifik, hanya memiliki sensitivitas 43 persen. Uterus bersekat sulit dibedakan dari uterus bikornuata tanpa pemeriksaan radiologis, sonografibereseolusi tinggi, visualisasi langsung rongga uterus, dan sering kali diperlukan pemeriksaan laparoskopik. Pemeriksaan histeroskopik dan histerografi bermanfaat untuk memastikan konfigurasi rongga uterus. Bila dikombinasi dengan konfigurasi laparoskopikuntuk memastikan ada tidaknya pemisahan eksternaluterus serta ada tidaknya kornu uterus rudimenter, hampir semua kelainan uterus dapat dijelaskan dan diklasifikasikan secara akurat seperti dijelaskan berikut ini.

1.4.3.      Insiden
Belum tersedia angka yang akurat tentang anomali-anomaliini. Green dan Harris (1976) mengidentifikasi 80 kelainan perkembangan uterus dari 31.836 pelahiran (1 dalam 400). Mereka menekankan bahwa deteksi paling besar selamasuatu periode terjadi saat salah satu anggotastaf bersemangat melakukan eksplorasi uterus saat persalinan, dan apabila dicurigai adanya suatu anomali, dilakukan histerosalpingografi 6sampai 8 minggu pascapartum.
Sonografi dapat digunakan untuk mengidentifikasi kelainan perkembangan uterus, walaupun kurang presisi dibandingkan dengan histeroskopi dan histerosalpingografi. Namun, selam kehamilan atau disangka hamil, evaluasi ultrasonografi cukup informatif. Magnetic resonance imaging (MRI) mungkin lebih spedifik.

1.4.4.      Pemeriksaan Urologis
Apabila dijumpai perkembangan saluran reproduksi yang asimetris, diindikasikan pemeriksaan urologis karena anomali ini sering berkaitan dengan kelainan salurab kemih. Apabila terdapat atresia uterus di satu sisi atau apabila salah satu vagina pada vagina ganda buntu,biasanya sering dijumpai anomali urologis ipsilateral.

1.4.5.      Pemeriksaan Pendengaran
Sampai sepertiga wanita dengan defek mulleri dilaporkan mengalami gangguan pendengaran. Gangguan ini ditandai oleh kelainan pendengaran sensorineural ringan sampai berat dalam rentangfrekuensi tinggi.

1.4.6.      Anomali Uterus Pada Tumor Wilms
Pasien tumor Wilmsyang jarangini dan bertahan hidup memperlihatkan peningkatan insiden anomali saluran kemih dan reproduksi. Para penulis menyarankan bahwapengamatan ini dapat secara parsial menjelaskan infertilitas pada para pasien wanita yang bertahan hidup.

1.4.7.      Makna Obstetri Kelainan Serviks
Atresia total serviks tidak memungkinkan kehamilan. Stenosis serviks akibat jaringan parut dapat terjadi setelahberbagaijenis trauma serviks. Karena selama kehamilan biasanya terjadiperlunakan jaringan, stenosis serviks secara berangsur-angsur ‘mengalah’ selama persalinan. Pada kasus-kasus yang jarang, stenosis dapat sedemikian mencolok sehingga tidak mungkin terjadi pembukaan dan diperlukan seksio sesarea.


1.4.8.      Makna Obstetri Hipoplasia Atau Agenesis Uterus
Kelas I Buttram Dan Gibbons. Hipoplasia atau agenesis vagina hampir tidak memungkinkan kehamilan, dan bahkan pada beberapa kasus yang menyambungkan uterus secara bedah ke sebuah vagina baru, kehamilan jarang terjadi. Berbagai jenis sekatvagina dapat diperlebar, dipindahkan, atau dipotong secara bedah, serviks bersekat berfungsi baik, tetapi selama persalinan dapat terjadi bahaya ruptur dan perdarahan.
Kelas II Sampai Vbuttram Dan Gibbons. Anomali uterus menimbulkan kesulitan obstetri yang besar. Defek uterus yang terjadi akibat perkembangan hanya salah satu duktus mulleri, atau akibat tidak terjadinya penyatuan, sering menghasilkan hemiuterus yang tidak dapat dapat mengalamidilatasi dan hipertrofi secara benar. Hal ini dapat menimbulkan beberapa kesulitan, termasuk keguguran, kehamilan ektopik, kehamilan kornu rudimenter, pelahiran preterm, hambatan pertumbuhan janin, kelainan letak janin, disfungsi uterus, dan ruptur uteri. Yang mengejutkan, bahkan pada keadaan-keadaan ketika hanya terdapat sebuah sekat uterus, angka keguguran meningkat.
Kinerja Reproduksi Wanita Dengan Uterus Unikornuatus (Buttram Dan Gibbons Kelas III). Anomali perkembangan yang menyebabkan terbentuknya uterus unikornuatus. Insidennya dalam suatu penelitian terhadap 1160 anomali ueterus adalah14 persen. Angka ini kemungkinan besar lebih rendah daripada sebenarnya, karena diagnostik utama yang digunakan adalah histerosalpingografi, yang tidak dapat mengidentifikasi kornu rudimenter nonkomunikans. O’Learly dan O’Learly (1963) memperkirakan bahwa 90 persen uterus unikornuatus dengan kornu rudimenter tidak memiliki saluran yang menghubungkan kedua kornu. Meningkatnya insiden infertilitas, endometriosis, dan dismenorea pada kasus-kasus ini jelas lebih mudah dipahami.
Kelainan anatomis dan meningkatnya kematian janin secara parsial dapat dijelaskan olehukuran uterus yang lebih kecil atau implantasi zigot di kornu rudimenter komunikans. Ukuran hemiuterus yang kecil hampir merupakan penyebab meningkatnya angka pelahiran preterm, hambatanpertumbuhan janin, presentasi bokong, persalinan sulit, dan seksio sesarea.
Kehamilan tuba dan kehamilan di kornu rudimenter nonkomunikans merupakan merupakan masalah khusus. Rolen dkk. (1966) melaporkan bahwa pada 70 kehamilan dengan implantasi di kornu rudimenter, biasanya terjadi ruptur uteri sebelum 20 minggu. Perdarahan intraperitoneumpada kasus-kasus ini dapat deras danmengancam nyawa, tetapi pernah dilaporkan janin yang bertahan hidup walaupun jarang. Pada satu kasus, janin kembar dilahirkan terpisah 8 hari. Pada kasus lain, kehamilan padakornu rudimenter nonkomunikans disangka uterus inkarserata dengan sirkulasi. Penggunaan MRI yang lebih liberal dapat mendiagnosis masalah kehamilan ini lebih dini.
Tidak terdapat hubungan antara kornu rudimenter dengan kornu yang berlawanan atau vagina. Sperma harus bermigrasi keluar dari tuba fallopi kornu yang paten dan menyeberang secara transperitoneal untuk masuk ke tuba yang bersambungan dengan kornu rudimenter. Padaminggu ke 15, wanita yang bersangkutan mengeluh nyeri abdomen bawah yang mendadak, terasa keram, dan parah. Teraba massa uterus yang agak membesar dan nyeri tekan. Pada massa ini teridentifikasi gerakan jantung janin. Pada laparotomi, dijumpai sekitar 200 ml darah bebas di dalam rongga peritoneum. Dilakukan histerektomi total dan salpingo-ooferektomi kir. Tiga kehamilan sebelumnya, yang semuanya dengan presentasi bokong, mengahsilkan bayi yang beratnya 750 g(meninggal), 120g (hidup), dan 2815g (hidup).
Kinerja Reproduksi Wanita Dengan Uterus Didelfis (Buttram Dan Gibbons Kelas III). Uterus didelfis dibedakan dari uterus bikornuata dan septata oleh adanya reduplikasi lengkap serviks dan rongga hemiuterus. Dalam suatu penelitian terhadap 26 wanita yang mengidap kelainan ini, Heinonen (1984) melaporkan bahwa semua juga memiliki sebuah septum vaginal longitudinal. Selain kehamilan ektopik dan kehamilan kornu rudimenter, masalah-masalah yang berkaitan dengan uterus didelfis serupa dengan yang dijumpai pada uterus unikornuatus. Heinonen (1984) melaporkan hasil akhir kehamilan secara keseluruhan yang baik adalah 70 persen. Selain 30 persen keguguran, dijumpai pelahiran preterm pada 20 persen, hambatan pertumbuhan janin pada 10 persen, presentasi bokong pada 43 persen, dan angka seksio sesarea adalah 82 persen. Percobaan persalinan berikutnya menyebabkan peningkatan angka ruptur uteri.
            Pada wanita dengan uterus didelfis, gestasi multijanin tidak lazim tetapi bukannya jarang. Mashiach dkk. (1981) melaporkan satu kasus triplet dengan interval pelahiran 72 hari.
Kinerja Reproduksi Wanita Dengan Uterus Bikornuata Dan Septata (Buttram Dan Gibbons Kelas IV Dan V). Pada kelas IV dan V, terjadi peningkatan mencolok abortus spontan. Hal ini mungkin disebabkan oleh banyaknya jaringan otot di septum. Pengecualian adalah untuk uterus arkuata, yang hanya merupakan penyimpangan ringan dari normal. Menurut Bruttam dan Gibbons (1979), kematian janin pada 20 minggu pertama adalah 70 persen untuk uterus bikornuata dan 88 persen untuk uterus septata. Kematian janin yang sangat tinggi ini kemungkinan karena implantasi parsial atau lengkap pada septum yang umumnya avaskular. Pada 255 wanita dengan malformasi ueterus, tiga dengan uterusseptata memiliki neonatus dengan defek reduksi ekstremitas. Leible dkk. (1998) memperlihatkan bahwa dua pertiga wanita dengan anomali mulleri plasenta lateral mengalami implantasi dan bahwa arteri uterina nonplasenta pada kasus-kasus ini memperlihatkan rasio sistolik/diastolik yang tinggi. Apabila kehamilan sudah berlangsung, maka hasil akhir keseluruhanmenyebabkan peningkatan insiden pelahiran preterm, kelainan letak janin, dan seksio sesarea. Percobaan persalinan berikutnya akan meningkatkan angka ruptur uteri.
            Histerosalpingogram biasanya tidak dapat digunakan sendiri untuk membedakan uterus septata dan uterusbikornuata, tetapi histerosonografi transvagina sangat meningkatkan keakuratan diagnosis. Ultrasonografi tiga dimensi juga dilaporkan meningkatkan keakuratan diagnosis, tetapi seperti histerosonografi, caraini tidak100 persen akurat. Buttram dan Gibbons (1979) menekankan pentingnya laparoskopi untukmemastikan adanya pemisahan eksternal uterus. Diagnosis ini sekarang dapat ditegakkan dengan cara noninvasif menggunakan MRI. Percobaan persalinan memiliki angka ruptur uteri yangtinggi.

1.4.9.      Penatalaksanaan Anomali Uterus
Kelainan presentasi janin sering terjadi pada uterus abnormal. Upaya-upaya versi kaki luar kecil kemungkinannya berhasil dan mungkin malah membahayakan. Apabila terjadi disfungsi uterus, tampaknya kurang bijaksana untuk mengatasi gangguan uterus ini dengan oksitosin. Seksio sesarea lebih aman, tetapi sayangnya diagnosissering tidakdiperkirakan.

1.4.10.  Cerclage
Pengikatan (cerclage) serviks terapeutik dan profilaktik mungkin diindikasikan bagi wanita dengan uterus didelfis dan uterus bikornuata atau unikornuata. Peningkatan serviks melalui abdomen menawarkan harapan terbaikbagi wanita dengan atresia serviks parsial atau hipoplasia serviks yang ingin kehamilannya berhasil. Caspi dkk. (1990) melaporkan metode Shirodkarmodifikasi yang menutupos interna tanpa perlu melakukan prosedur melalui abdomen. Teknik ini dikerjakan dengan membuat sebuah insisi melintang kecil di taut vagina kandung kemih anterior dan memajukan kandung kemih sampai setinggi os interna. Sebuah jarum bulat besar digunakan untuk memasukkan sebuah benangmonofilamen di sekeliling kedua sisi serviks di bawah mukosa vagina. Benang dikeluarkan di bawah mukosa vagina dalam sul-de-sac dan diligasi. Prosedur ini dilakukan pada wanita yang serviknya pendek atau mengalami laserasi dan pada wanita dengan riwayat kegagalan cerclage McDonald.

1.4.11.  Metroplasti
Wanita dengan anomali septata atau bikornuata serta gangguan hasil akhir kehamilan mungkin akan mendapat manfaatdaritindakan perbaikan uterus.
            Perbaikan uterus bikornuata adalah dengan metroplasti transabdomenyang mencakup reseksi septum dan rekombinasi fundus. Setelah perbaikan aktivitas ueterus normal apabila kedua kornu uterus yang secara anatomis simetris telah disatukan.
            Perbaikan uterusseptata paling baik dilakukan dengan reseksi septum secara histeroskopis. Infus dekstran berlebihan selama tinadakan histeroskopis ini dapat menyebabkan edema paru yang mengancam nyawa dan memicu koagulopati berat. Pada prosedur ini, reseksi septum dengan laser tampaknyahanya menambahwaktu dan biaya. Tidak perlu pemasangan alat kontrasepsi dalam rahim dan terapi hormon pascaoperasi untuk mencegah fusi septum.

1.6. Kelainan Saluran Reproduksi Akibat Dietilstilbestrol.
Hampir selama seperempat abad, sampai awal tahun 1970-an, dietilstilbestrol (DES), suatu estrogen nonsteroidsintetik, diresepkan bagi sekitar 3 juta wanita hamil di Amerika Serikat.laporan-laporan awaltanpa kontrol mengklaim bahwa obatini bermanfaat untuk mengobati abortus, preeklamsia, diabetes, dan persalinan preterm. Selain kurang efektif, masalah serius pertama yang dikaitkan dengan pemakaiannya adalah ditemukannya adenokarsinoma sel jernih vagina pada beberapa anak perempuan yang terpajan in utero.
            Beberapa kelainan non neoplastik di vagina dan serviks juga pernah dilaporkan. Yang tersering adalah adenosis vagina dan ektropion serviks. Kelainan struktural nayor di vagina, serviks, uterus, dan tuba fallopi juga pernah dijumpai, dan kelainan-kelainan ini menyebabkan peningkatan risiko insiden gangguan hasil akhir reproduksi.

1.6.1.       Kelainan Struktural
Sebanyak seperempat sampai separuh wanita yang terpajan DES in utero memperlihatkan variasi strukturaldi vagina dan serviks. Variasi-variasitersebut mencakup septum transversum,rigi melingkar yang mengenai serviks dan vagina, dan kerah serviks (servical collars). Anomali ronggauterus tampak pada histerografi dari sekitar dua pertiga wanita yang terpajan. Rongga uterus yang secara bermakna lebih kecil, pemendekan segmen atas uterus, dan rongga berbentuk huruf T juga pernah dilaporkan. Sekitar separuh wanita dengan defek uterus juga mengalami defek serviks, terutama hipoplasia serviks. Akhrnya, berbagai kelainan tuba fallopi pernah dilaporkan, termasuk pemendekan, penyempitan, dan tidak adanya fimbria. Kipersztok dkk. (1996) beranggapan bahwa untuk mengidentifikasi kelainan-kelainan ini histerosalpingografi tetap merupakan prosedur pilihan dibandingkan dengan MRI dan ultrasonografi transvagna.

1.6.2.       Kinerja Reproduksi
Wanita yang terpajan DES semasa janin dilaporkan memperlihatkan penurunan angka konsepsi. Dari mereka yang mengandung, terjadi peningkatan angka keguguran, kehamilan ektopik, dan kelahiran preterm. Risiko paling besar adalah bagi wanita yang memperlihatkan kelainan struktural.

1.6.3.       Kehamilan Ektopik
Insiden kehamilan ektopik dilaporkan 7 persen dibandingkan dengan nol pada kontrol. Etiologinya mungkin adalah anomali tuba, tetap mengecilnya ukuran uterus juga mungkin berperan.

1.6.4.       Keguguran Dan Persalinan Preterm
Insiden persalinan preterm meningkat, mungkin karena anomali uterus dan serviks. Abortus spontan meningkat, tetapi mekanisme penyebab abortus dini masih belum sepenuhnya dipahami. Inkompetensi serviks tampaknya bertanggung jawab menyebabkan peningkatan kematian janin pada pertengahan kehamilan dan persalinan preterm. Hal ini dibuktikan secara grafis oleh Michaels dkk. (1989) dalam penelitian ultrasonografik prospektif serial terhadap wanita yang terpajan DES. Dengan menggunakan evaluasi sonografik serial terhadap segmen bawah uterus, serviks, dan vagina, ditemukan pendataran dan pembukaan serviks dini pada 5 dari 21 kehamilan. Pengikatan serviks dilakukan pada kelima kasus tersebut, dan semuanya berlanjut sampai paling sedikit usia gestasi 36 minggu.
Michaels dkk. (1989) memberi tahu para wanita ini bahwa mereka berisiko melahirkan preterm. Mereka diperiksa setiap minggu dengan surveilans ultrasonografi serial daerah uterus bawah dan servikovagna, dimulai pada usia gestasi 14 minggu dan berlanjut sampai minggu ke 27. Bila terdapat pendataran dan dilatasi serviks yang progresif, maka dilakukan pengikatan serviks. Ayers dkk. (1988) serta Ludmir dkk. (1987, 1991) menganjurkan pengikatan serviks pada sebagian besar wanita ini, tetapi terutama mereka yang mengalami hipoplasia serviks. Hamptom dkk. (1990) menganjurkan pengikatan serviks transabdomina bagi wanita dengan hipoplasia atau atresia serviks parsial.

1.6.5.       Infertilitas
Berkurangnya kesuburan pada para wanita ini kurang dupahami tetapi berkaitan dengan hipoplasia dan atresia serviks. Perbaikan bedah dengan reanastomosis vagina dan serviks pernah dilakukan. Kehamilan dapat dicapai dengan menggunakan berbagai teknik tranfer zigot intra fallopi.

1.6.6.       Terapi
Terapi bagi wanita yang terpajan DES adalah surveilans kontinu untuk mendeteksi karsinoma sel jernih di vagina dan serviks. Pemeriksaan tahunan adekuat bagi kebanyakan dar mereka, tetapi harus dilakukan dua kali setahun pada wanita dengan adenosis luas di vagina. Wanita dengan serviks atau vagina atipik harus diperiksa sesering yang diindikasikan. Tidak ada terapi spesifik yang dianjurkan untuk adenosis tanpa atipia sel. Terapi karsinoma sel jernih di vagina adalah radiasi dan ekstirpasi radikal.
Penangan bedah terhadap kelainan struktural dilaporkan dapat memperbaiki kinerja reproduksi. Garbin dkk. (1998) menganjurkan metroplasti histeroskopik menggunakan suatu kait monopolar untuk memotong tonjolan lateral dinding inferior atas uterus pada uterus berbentuk T. Mereka juga memotong fundus arkuata pada rongga uterus untuk memperbesar volume uterus. Mereka melaporkan penurunan abortus dari 88 menjadi 13 persen dan peningkatan pelahran aterm dari menjadi 88 persen. Nagel dan Malo (1993) serta Katz dkk. (1996) melaporkan peningkatan hasil akhir kehamilan setelah reaksi uterus histeroskopik menggunakan gunting, elektrokoagulasi, dan elektrode pemotong.

2.      KELAINAN SALURAN REPRODUKSI DIDAPAT
2.1. Kelainan Vulva
2.1.1.      Edema
Pada wanita yang mengidap sindrom nefrotik dan hipoproteinemia, dapat terjadi edema vulva yang mengganggu bahkan sejak pertengahan kehamilan. Kadang-kadang pada wanita normal dan terutama yang mengidap preeklamsi berat, vulva dapat menjadi edematosa selama persalinan. Trombosis vena dan hematom juga dapat menyebabkan edema serta nyer sehingga membuat episiotomi sulit dilakukan.

2.1.2.      Lesi Peradangan
Peradangan dan pembentukan jaringan parut perineum yang luas akibat hidradenitis supurativa, limfogranuloma venereum, atau penyakit Crohn dapat menyebabkan kesulitan dalam pelahiran pervaginam, episiotomi, dan perbaikannya. Episiotomi mediolateral dapat mencegah sebagian dari kesulitan ini dan laserasi rektum.

2.1.3.      Abses Bartolin
Apabila berbentuk suatu abses selama kehamilan, harus dilakukan drainase. Pada sebagian kasus, analgesi lokal sudah memadai tetapi pada abses besar dengan selulitis, drainase sebaiknya dilakukan di ruang operasi. Setelah insisi dan dranase, tepi-tepi yang terpotong – apabila mengalami perdarahan aktif – dijahit dengan catgut kronik halus. Sebuah kassa drainase dimasukkan untuk menjaga agar ostum tetap terbuka sampai granulasi lengkap. Dalam pus dari abses semacam ini dapat dijumpai bakteri aerob dan anaerob, tetapi Neisseria gonorrhoeae dijumpai pada kurang dar 10 persen. Pasien perlu mendapat antibiotik spektrum luas sampai selulitisnya mereda.

2.1.4.      Kista Bartolin
Karena kehamilan memicu hiperemia, maka terapi terhadap kista asimtomatik sebaiknya ditunda sampai pasien melahirkan. Walaupun jarang, suatu kista labium yang ukurannya cukup besar dapat menyulitkan persalinan. Dalam hal ini aspirasi dengan jarum sudah memadai sebagai tindakan sementara.

2.1.5.      Lesi Di Uretra Dan Kandung Kemih
Trauma di uretra atau infeksi kelenjar-kelenjarnya dapat menyebabkan abses periuretra, kista, dan divertikulum. Abses biasanya mereda sendiri, dengan pembentukan kista asimtomatik sebagai sekuele. Divertikulum uretra dapat terisi oleh debris yang secara intermiten keluar melalui uretra dan menyebabkan proteinuria sehingga etologi menjadi kabur. Secara umum, eksisi bedah terhadap kista atau divertikulum jangan dlakukan selama kehamilan.1997) mengulas kepustakaan mengenai tumor kandung kemih dan menyimpulkan bahwa pada sebagian kasus kanker buli-buli diperlukan tindakan seksio sesarea untuk mengeluarkan janin.

2.1.6.      Kondiloma Akuminata
Infeksi genital oleh virus papiloma manusia menimbulkan kondiloma akuminata, yang serng disebut sebagai kutil kelamin. Pada sebagian kasus, kondiloma genital dapat sedemikian besar sehingga persalinan pervaginam sulit.

2.1.7.      Mutilasi Genital Wanita
Mutilasi genital wanita, yang secara salah disebut sebagai sirkumsisi wanita, mengacu kepada modifikasi yang secara medis tidak diperlukan. Saat ini, mutilasi wanita semacam ini dipraktekkan di negara-negara Afrika dan Timur Tengah serta pada populasi muslim di Indonesia dan Malaysia. Tindakan ini dilakukan pada 80 sampai 110 juta wanita di seluruh dunia. Menurut World Health Organozation (1992), sirkumsisi wanita secara bermakna berkaitan dengan kemiskinan, buta huruf, dan status wanita yang rendah.
Terdapat beragam jenis modifikasi bedah terhadap genitalia wanita. World Health Organization (1997) mengklasifikasikan mutasi genital wanita menjadi empat jenis. Penulis-penulis lain menggolongkannya menjadi tiga bentuk. Sunna adalah satu-satunya prosedur genital wanita yang dapat dengan benar dsebut sebagai sirkumsisi. Tindakan ini adalah bentuk yang paling kurang ekstrim dan berupa klitoridektomi subtotal dengan derajat bervariasi. Apabila dilakukan dalam keadaan steril, jarang terjadi konsekuensi fisik jangka panjang. Jenis kedua adalah eksisi. Tindakan ini berupa klitoridektomi dan kadang-kadang pengangkatan sebagian atau seluruh labia minora. Prosedur ini dapat menyebabkan konsekuensi media yang lebh serius.
Bentuk ketiga dan yang paling ekstrim dikenal sebaga infibulasi atau sirkumsisi firaun (pharaonic circumcision). Tindakan ini berupa pengangkatan seluruh klitoris, seluruh labia minora, dan paling tidak dua pertiga labia mayora. Kedua sisi vulva kemudian dijahit oleh benang sutera atau catgut dan disatukan oleh duri-duri. Ditinggalkan sebuah lubang kecil biasanya dibuat dengan memasukkan batang korek api untuk keluarnya darah haid dan urin. Kedua paha kemudian diikat dari pinggul sampai pergelangan kaki selama 40 hari sehingga akan terbentuk jarngan parut. Infibulasi menimbulkan konsekuensi medis paling sering. Knight dkk. (1999) melaporkan bahwa hampir 80 persen wanita yang dsunat yang datang ke Royal Women’s Hosptal di Melbourne telah menjalani infibulasi.
Tndakan ini biasanya dilakukan pada usia 7 tahun, walaupun diketahui bahwa tindakan tersebut juga dilakukan pada usia berapapun dari bayi sampai pubertas. Pembedahan basanya dilakukan tanpa anastesi oleh bidan atau dukun beranak. Alat yang paling digunakan untuk melakukan mutilasi genitalia wanita adalah pisau silet, pisau dapur, gunting, kaca, dan di beberapa tempat, gigi dukun beranak tersebut.
Bahaya yang paling akut dari mutilasi genitalia wanita adalah eksanguinasi. Dalam beberapa hari dapat terjadi infeksi berat. Masalahnya yang paling sering terjadi pada wanta yang menjalani infibulasi adalah retensi urn akibat nyeri luka dan introitus yang dijahit sempit. Penyulit jangka panjang adalah infeksi vagina dan uterus kronik, yang dapat menyebabkan sterilitas, infeksi saluran kemih disertai gangguan berkemih yang semakin parah, dismenorea, dispareunia, dan apareunia. Tindakan ini dapat merupakan predisposisi bagi infeksi virus imunodefisiensi manusia.
Para wanita ini mengalami sejumlah penyulit obstetri akibat obstruksi jalan lahir oleh jaringan parut. Dengan berbagai alasan, mereka tidak menginginkan deinfibulasi sampai hamil. Nour (2000) menganjurkan bahwa tindakan ini dilakukan pada pertengahan kehamilan di bawah anastesi spinal. Apabila tidak, jaringan parut biasanya harus disayat terbuka saat pelahiran dengan episiotomi anterior. Tanpa tindakan ini dapat terjadi robekan vagina yang parah yang dapat menghambat persalinan. Apabila jaringan parut sirkumsisi dipotong cukup dini, mungkin tidak diperlukan lagi episiotomi konvensional. Para wanita ni juga menderita konsekuensi dari episiotomi anterior misalnya fistula rektovagina dan vesikovagna.

2.2. Kelainan Vagina
2.2.1.      Atresia Parsial
Atresia tidak sempurna dapat terjadi akibat pembentukan jaringan parut akibat cedera atau peradangan. Setelah suatu infeksi yang menyebabkan sebagan besar mukosa vagina terkelupas, lumen vagina mungkin hampir seluruhnya lenyap sewaktu proses penyembuhan. Cedera yang menyebabkan pembentukan jaringan parut luas, misalnya trauma perkosaan pada ank-anak, juga dapat menyebabkan atresia vagina.
Sewaktu persalinan, atresia parsial biasanya teratasi oleh tekanan yang ditimbulkan oleh bagan terbawah janin. Walaupun jarang, kadang-kadang diperlukan insisi atau dilatasi manual atau hidrostatik. Apabila struktur sedemikian resisten sehingga tampaknya tidak mungkin terjadi dilatasi spontan, pada awal proses persalinan dilakukan seksio sesarea.

2.2.2.      Kista Duktus Gartner
Kista ini dapat menonjol ke dalam vagina dan bahkan keluar melalui introitus sedemikian sehingga menyerupai sistokel. Sewaktu persalinan, sistokel dapat dilatasi dengan baik dengan kateterisasi kandung kemih dan melakukan tekanan ke atas dengan tangan pada dinding vagina anterior yang prolaps. Kista duktus Gartner dapat terselip di atas bagian presentasi janin, apabila tidak, maka kista dapat diaspirasi.
2.2.3.      Fistula Saluran Genital Akibat Persalinan
Pada partus macet, jaringan dari berbagai bagian saluran genital dapat tertekan di antara kepala janin dan tulang panggul. Apabila tekanannya sngkat, tidak akan terjadi apa-apa; tetapi apabila berkepanjangan, terjadi nekrosis dan dalam beberapa hari terjadi kerontokan jaringan dan perforasi. Pada sebagian besar kasus, perforasi terjadi antara vagina dan kandung kemih sehingga terbentuk fistula vesikovagina. Miklos dkk. (1995) melaorkan suatu fistula vesikouterina yang sering terjadi setelah pelahiran pervaginam pada wanita dengan riwayat seksio sesarea transversus rendah. Pada kasus-kasus lain yang jarang, bibir serviks anterior tertekan ke simfisis pubis, dan akhirnya terbentuk saluran abnormal antara kanalis servikalis dan kandung kemih, suatu fistula vesikoserviks. Apabila wanita yang bersangkutan tidak mengalami infeksi, fistula dapat sembuh secara spontan. Namun fistula umumnya menetap sehingga kemudian diperlukan perbaikan.

2.3. Kelainan Serviks
2.3.1.      Stenosis
Stenosis serviks sikatrikal dapat terjadi setelah kauterisasi luas atau persalinan sulit yang disebabkan oleh infeksi dan destruksi jaringan dalam jumlah besar. Dari 10 kasus distosia serviks berat setelah tindakan pada serviks yang dilaporkan oleh Gibbs dan Moore (1968), riwayat konisasi merupakan penyebab pada enam kasus. Bedah beku dan terapi laser lebih kecil kemungkinannya menyebabkan stenosis. Demkian juga, eksisi lengkung besar di zona transformasi dengan diatermi tampaknya tidak mengganggu hasil kehamilan selanjutnya. Amputas serviks, disertai penjahitan untuk menghasilkan hemostasis dan mendorong reepitelisasi, dapat menyebabkan stenosis, walaupun lebih jarang dibandingkan dengan inkompetensi serviks.
Akibat pendataran serviks pada saat persalinan, conglutinated cervix (serviks yang saling melekat) dapat mengalami obliterasi total, tetapi os serviks mungkin tidak membuka. Karena itu, bagian terbawah janin sering dipisahkan dari vagina hanya oleh suatu lapisan tipis jaringan servks. Biasanya dengan dorongan dari ujung jari segera terjadi pembukaan lengkap, walaupun pada beberapa kasus yang jarang mungkin diperlukan dilatasi manual atau insisi silang. Stenosis serviks hampir selalu ‘kalah’ (membuka) sewaktu persalinan.

2.3.2.      Karsinoma Serviks
Distosia dapat disebabkan oleh infiltrasi ekstensif serviks oleh karsinoma karena pembukaan tdak adekuat bahkan setelah uterus berkontraksi.
2.4. Pergeseran Uterus
2.4.1.      Antefleksi
Derajat antefleksi yang berlebihan dan sering dijumpai pada awal kehamilan tidak memiliki makna klinis. Pada bulan-bulan selanjutnya, terutama apabila dinding perut terlalu kendur, uterus dapat jatuh ke depan. Kadang-kadang uterus sedemikian menggayutnya sehingga fundus terletak di bawah batas bawah simfisis pubis. Antefleksi uterus hamil yang berlebihan biasanya diakibatkan oleh diastasis rektum dan abdomen pendulosa. Apabila posisi uterus di dalam abdomen menghambat transmisi wajar kontraksi uterus ke serviks, pembukaan serviks serta cakapnya (engegement)  bagian terbawah janin terhambat. Perbaikan dapat dicapai dengan mempertahankan uterus dalam posisi mendekati normal dengan stagenabdomen yang tepat.

2.4.2.      Retrofleksi
Uterus yang mengalami retrofleksi itu sendiri bukan merupakan temuan patologis. Jarang diperlukan tindakan selama kehamilan, dan pengecualiannya adalah pada kasus-kasus jarang ketka uterus retrofleksi yang sedang tumbuh tetap terjepit di cekungan sakrum. Wanita dengan uterus yang mengalami retrofleksi harus sering dievaluasi pada awal trimester kedua untuk memastikan bahwa uterus tidak mengalami inkarserasi.
Gejala-gejala akibat uterus inkarserata biasanya mencakup rasa tidak nyaman di perut dan kesulitan berkemih. Dapat juga terjadi retensi urin akut. Seiring dengan meningkatnya tekanan dari kandung kemih yang membesar, sejumlah kecil urin keluar secara tidak sengaja, tetapi kandung kemih tidak pernah benar-benar kosong – inkontinensia paradoksis. Obstruksi urin dapat sedemikian parah sehingga terjadi azotemia. Apabila obstruksi dilatasi akan terjadi diuresis besar. Setelah kateterisasi kandung kemih, uterus biasanya dapat didorong keluar panggul dengan wanita berada dalam posisi lutut – dada (knee – chest). Kadang-kadang diperlukan analgesi spinal atau anastes umum untuk melakukan reposisi. Seubert dkk. (1999) menggunakan kolonoskopi untuk mengeluarkan uetrus inkarserata pada lima wanita. Saat dilewatkan setinggi fundus, endoskop menimbulkan tekanan di anterior sehingga uterus terlepas. Kateter dbiarkan di tempatnya sampai tonus kandung kemih pulih. Insersi sebuah pesarium lunak biasanya dapat mencegah reinkarserasi. Letteri dkk. (1994) melaporkan tujuh kasus inkarserata uterus yang tiga diantaranya tidak teratasi dengan tindakan sederhana ini. Pada dua wanita, digunakan laparoskopi pada usia gestasi 13 sampai 14 minggu untuk menggeser uterus keluar panggul menggunakan ligamentum rotundum sebagai traksi.

2.4.3.      Sakulasi Uterus
Uterus hamil yang terus terperangkap di panggul dapat mengalami sakulasi anterior. Friedman dkk. (1986) melaporkan satu kasus sakulasi uterus posterior setelah terapi agresif terhadap adhesi intruterus (sindrom Asherman).
            Walaupun jarang, uetrus yang terus terperangkap mungkin tidak banyak menimbulkan gejala, namun terjadi pelebaran ekstensif bagian bawah korpus uterus untuk mengakomodasi janin. Pada satu kasus di Parkland Hospital, saat seksio sesarea, bulbus kateter Foley terletak tepat di atas uretra di kandung kemih setinggi umbilikus. Tinggi serviks juga setara. Sebagian besar dari janin 2500 g yang hidup, cairan amnion, dan selaput ketuban terletak di dalam suatu sakulasi dinding anterior segmen bawah yang sangat tipis. Kepala janin terperangkap di bagian paling atas sakulasi, bersama dengan tiga lengkungan tali pusat, oleh sebuah cincin konstriksi miometrium. Fundus uterus dan plasenta terletak di dalam panggul sejati di bawah promontorium sakrum. Setelah persalinan, uterus segera berkontraksi dan menciut ke bentuk normalnya.
Spearing (1978) menekankan pentingnya deskripsi distorsi secara anatomis. Ia menyarankan bahwa temuan vagina yang memanjang melewat kepala janin yang terletak di rongga panggul dalam mengisyaratkan sakulasi atau kehamilan abdominal. Ia juga menganjurkan perluasan insisi abdomen sampai ke atas umbilikus dan pengeluaran keseluruhan uterus gravid dari abdomen sebelum diupayakan insisi terhadapnya. Tindakan sederhana ini akan memulihkan susunan anatomi struktur-struktur terkait dan mencegah insisi tidak sengaja menembus vagina dan kandung kemih.
Engel dan Rushovich (1989) melaporkan suatu divertikulum uterus sejati yang disangka sakulasi. Akhirnya, retroversi dapat salah disangka sebagai sakulasi uterus.



2.4.4.      Prolaps Uterus Hamil
Pada bulan-bulan pertama kehamilan, seviks, dan kadang-kadang sebagian korpus uteri, dapat menonjol dari vulva dengan derajat bervariasi. Namun, seiiring dengan kemajuan kehamilan, korpus uteri biasanya bergerak ke atas bersamanya. Apabila uterus tetap berada dalam posisi prolaps, dapat timbul gejala-gejala inkarserasi pada bulan ketiga atau keempat.
Pada awal kehamilan, uterus harus dikembalkan dan dipertahankan dalam posisi dengan pesarium yang sesuai. Namun, apabila dasar panggul terlalu lemah sehingga pesarium tidak dapat dpertahankan, wanita yang bersangkutan harus berbaring selama mungkin sampai setelah bulan keempat. Apabila sebagian besar serviks tetap berada di luar vulva dan tidak dapat dikembalkan, kehamilan harus dihentkan. Keberhasilan kehamilan dan bahkan pelahiran per vaginam pernah dilaporkan setelah viksasi uterus uterosakrum sakrospinosa untuk memperbaiki prolaps uteri yang parah.

2.4.5.      Sistokel Dan Rektokel
Melemahnya fasia penunjang yang normalnya terletak di antara vagina dan kandung kemih menyebabkan kandung kemih prolaps ke dalam vagina, atau sistokel. Melemahnya fasia antara vagina dan rektum menyebabkan rektokel. Stasis kemih yang disebabkan oleh sistokel besar akan memudahkan terjadinya infeksi. Rektokel besar dapat terisi oleh feses yang kadang-kadang hanya dapat dikeluarkan secara manual. Sewaktu persalinan, kedua lesi dapat menghambat penurunan normal janin kecuali apabila kedua kentung tersebut dikosongkan dan didorong keluar dari jalan lahir. Sistokel sering diakibatkan oleh inkontinensia stres urin akibat hilangnya sudut uretrovesika posterior. Hal ini dapat diperparah oleh kehamilan akibat membesarnya uterus dan meningkatnya tekanan intraabdominal. Para wanita ini memiliki tekanan penutupan uretra yang rendah yang tidak cukup meningkat untuk mengkompensasi peningkatan progresif tekanan kandung kemih yang ditimbulkan oleh pembesaran uterus.

2.4.6.      Enterokel
Pada kasus-kasus yang jarang, kehamilan dipersulit oleh suatu enterokel besar yang terisi oleh gulungan usus. Apabila menimbulkan gejala, penonjolan harus dikembalikan dan wanita yang bersangkutan diharuskan terus berbaring. Apabila mengganggu pelahiran, massa enterokel harus didorong atau dijaga agar tidak menghalangi jalan lahir.
            Perbaikan prolaps uterus, sistokel, rektokel, dan enterokel secara bedah jangan dilakukan selama periode antepartum atau intrapartum. Perbaikan definitif, sering dengan histerektomi vagina untuk prolaps uterus terkat dan sterilisasi, harus dilakukan setelah hiperemia panggul yang dipicu oleh kehamilan mereda.

2.4.7.      Torsio Uterus Hamil
Rotasi uterus hamil, umumnya ke kanan, sering terjadi selama kehamilan. Namun, torsio dengan derajat yang cukup besar sampai menghentikan sirkulasi uterus dan menimbulkan kegawatan abdomen jarang terjadi. Bakos dan Axelsson (1987) melaporkan satu kasus levotorsio berat disertai deselerasi frekuensi denyut jantung janin berulang yang mendorong segera dilakukannya seksio sesarea. Akibat torsio uterus yang ekstrim, insisi secara tidak sengaja dilakukan di sisi posterior uterus. Seperti ditekankan oleh Spearing (1978), uterus harus dkeluarkan dari abdomen sebelum insisi uterus dilakukan. Sherer dkk. (1994) menekankan kenyataan bahwa keadaan ini dapat dikacaukan dengan kehamilan abdomen. Keakuratan diagnosis antepartum mungkin meningkat dengan pemeriksaan MRI dan identifikasi tanda X. Tanda ini didasarkan pada kenyataan bahwa dalam keadaan normal vagina tampak pada MRI sebagai struktur berbentuk H; tetapi pada torsio uterus dan vagina bagian atas, vagina tampak sebagai struktur berbentuk X.

2.5. Leiomioma Uteri
Leiomioma atau mioma uteri, yang secara salah disebut juga “fibroid”, sering dijumpai selama kehamilan. Rice dkk. (1989) mendapatkan bahwa 1,4 persen dari lebih 6700 kehamilan mengalami penyulit mioma. Katz dkk. (1989) melaporkan bahwa 1 dari 500 wanita hamil dirawat inap akibat penyulit yang berkaitan dengan mioma.
            Mioma uteri dapat terletak tepat di bawah permukaan endometrium atau desidua rongga uterus (submukosa), tepat di bawah serosa uterus (subserosa), atau terbatas di miometrium (intramural). Mioma intramural, seiring dengan pertumbuhannya, dapat membentuk komponen subserosa atau submukosa , atau keduanya. Mioma subserosa atau submukosa kadang-kadang melekat ke uterus hanya melalui sebuah tangkai (pedunkulata). Tumor ini dapat mengalami torsio disertai nekrosis yang mungkin menyebabkan mioma tersebut terlepas dari uterus. Kadang-kadang mioma subserosa menjadi parasitik, dan sebagian atau semua aliran darahnya berasal dari omentum yang banyak mengandung pembuluh darah.
            Mioma selama kehamilan atau masa nifas kadang-kadang mengalami degenerasi “merah” atau “karnosa” akibat infark hemoragik. Gejala dan tandanya adalah nyeri lokal, disertai nyeri tekan pada palpasi dan kadang-kadang demam ringan. Sering terjadi leukositosis sedang. Kadang-kadang perineum parietalis yang menutupi mioma (yang mengalami infark) meradang dan terjadi friction rub (bising gesek) peritoneum. Degenerasi merah kadang-kadang sulit dibedakan dari apendisitis, solusio plasenta, batu ureter, atau pielonefritis, tetapi teknik-teknik pencitraan yang akan kemungkinan besar akan banyak membantu. Terapi berupa analgesia misalnya kodein. Umumnya gejala dan tanda mereda dalam beberapa hari, tetapi peradangan dapat memicu persalinan.
            Mioma dapat terinfeksi apabila terjadi abortus septik atau metritis masa nifas. Hal ini paling sering terjadi apabila miomanya terletak dekat dengan tempat implantasi plasenta atau terjadi perforasi mioma oleh instrumen, misalnya sonde atau kuret. Apabila mioma mengalami infark, risiko infeksi meningkat dan kemungkinan penyembuhan infeksi berkurang, kecuali apabila dilakukan histerektomi.    

2.5.1.      Efek Kehamilan
Efek stimulatorik kehamilan pada pertumbuhan mioma telah sejak lama di kenali secara klinis. Efek ini kemudian diduga terjadi melelui reseptor estrogen dan progesteron yang terdapat di jaringan uterus normal dan mioma. Sebenarnya, ekspansi cepat uterus yang normal terjadi selama kehamilan besar kemungkinannya melibatkan mekanisme yang lebih kompleks yang diperantarai sebagian oleh estrogen, progesteron, dan sejumlah faktor pertumbuhan, terutama plateled – derived growth factor.
            Selama fase sekretorik siklus mentruasi dan kehamilan, jumlah reseptor estrogen di miometrium normal berkurang. Pada mioma, reseptor estrogen dapat ditemukan sepanjang siklus menstruasi, tetapi ekspresi reseptor tersebut tertekan selama kehamilan. Reseptor progesteron terdapat di miometrium dan mioma sepanjang siklus menstruasi dan kehamilan. Antigen terkait proliferasi sel Ki-67 lebih banyak di sel-sel miometrium selama kehamilan, tetapi lebih tinggi lagi pada mioma sepanjang siklus menstruasi dan kehamilan. Maka, faktor-faktor yang merangsang pertumbuhan normal uterus selama kehamilan tampaknya adalah estrogen, progesteron, berbagai faktor pertumbuhan, dan meningkatnya sel-sel dengan antigen Ki-67.
            Efek stimulatorik mioma uteri pada wanita tidak hamil tampaknya terjadi akibat meningkatnya reseptor estrogen dan progesteron, sel Ki-67, dan epidermal growth factor (EGF, faktor pertumbuhan epidermis). EGF tampaknya dirangsang oleh estrogen.
            Pengamatan-pengamatan ini mendukung konsep bahwa hormon atau faktor pertumbuhan yang sama atau serupa yang biasanya merangsang pertumbuhan uterus selama kehamilan, juga merangsang pertumbuhan leiomoma pada awal kehamilan. Hal ini dapat menjelaskan pengamatan paradoks bahwa mioma besar tidak berubah atau mengecil pada akhir kehamilan. Mungkin selama kehamilan reseptor estrogen mioma mengalami penurunan (downregulated) akibat adanya estrogen dalam jumlah besar. Tanpa reseptor estrogen yang efektif, peningkatan faktor pertumbuhan epdermis juga berkurang.
            Lev-Toaff dkk. (1987), dengan menggunakan pemantauan ultrasonografi serial, mengamati bahwa hanya separuh mioma yang ukurannya berubah secara bermakna selama kehamilan. Secara spesifik, selama trimester pertama, mioma dari segala ukuran tidak mengalami perubahan atau membesar. Selama trimester kedua, mioma kecil (2 sampai 6 cm) biasanya tetap tidak berubah atau membesar, sedangkan mioma yang lebih besar mengecil (dimulainya pengurangan reseptor estrogen). Berapapun ukuran awal mioma, selama trimester ketiga ukuran mioma biasanya tidak berubah atau malah mengecil. Hal penting dari pengamatan ini adalah bahwa pertumbuhan mioma tidak dapat diprediksi dengan akurat.

2.5.2.      Efek Ukuran, Letak, Dan Jumlah Mioma Pada Kehamilan
Beberapa peneliti berupaya menilai efek ukuran, lokasi, dan jumlah mioma terhadap kehamilan. Dalam kaitannya dengan ukuran, Rice dkk. (1989) menyimpulkan bahwa wanita dengan mioma berukuran lebih dari 3 cm memperlihatkan peningkatan angka persalinan preterm, solusio plasenta, nyeri panggul, dan seksio sesarea yang bermakna. Tumor berukuran kurang dari 3 cm tidak bermakna secara klinis. Lev-Toaff dkk. (1987) mencatat bahwa seiring dengan meningkatnya ukuran dan jumlah mioma, terjadi peningkatan frekuensi retensi plasenta, malpersentasi janin, dan kontraksi preterm yang signifikan. Hasan dkk. (1990) tdak mendapatkan keterkaitan dalam hubungannya dengan ukuran mioma kecuali meningkatnya kemungkinan obstruksi persalinan apabila ukuran mioma lebih dari 6 cm. Davis dkk. (1990) serta Roberts dkk. (1999) mengamati tidak adanya hubungan antara penyulit dengan ukuran, letak, dan jumlah mioma.
            Coronado dkk. (2000) mengulas hasil-hasil akhir kehamilan pada 2065 wanita dengan leiomioma yang dipastikan dari akte kelahiran negara bagian Washington. Solusio plasenta dan presentasi bokong meningkat empat kali lipat, perdarahan trimester pertama dan disfungsi persalinan dua kali lipat, dan seksio sesarea enam kali lipat. Kemungkinan solusio plasenta tampaknya meningkat apabila plasenta berkontak atau menutupi suatu mioma uterus. Abortus dan perdarahan pascapartum tidak meningkat kecuali apabila plasenta terletak di samping atau menutup suatu mioma. Walaupun insiden perdarahan pascapartum tidak meningkat, apabila terjadi maka perdarahan biasanya masif, sulit diatasi, dan sering hanya dapat ditangani dengan histerektomi. Lev-Toaff dkk. (1987) mendapatkan peningkatan insiden retensi plasenta pada kasus mioma segmen bawah uterus.
            Beberapa kesimpulan dapat ditarik dari laporan-laporan ini :
1.      Pertumbuhan mioma selama kehamilan tidak dapat diperkirakan.
2.      Implantasi plesenta yang menutupi atau berkontak dengan mioma meningkatkan kemungkinan solusio plasenta, abortus, persalinan preterm, dan perdarahan pascapartum.
3.      Mioma multipel meningkatkan insiden malposisi janin dan persalinan preterm.
4.      Degenerasi mioma mungkin menimbulkan gambaran sonografik khas.
5.      Insiden seksio sesarea meningkat.
Pada wanita dengan mioma uterus, perlu dipertimbangkan pemeriksaan ultrasonografi serial sepanjang kehamilan.

2.5.3.      Mioma Serviks
Mioma di serviks atau segmen bawah uterus dapat menghambat persalinan dan mungkin disangka sebagai kelapa janin. Saat aterm diperlukan histerektomi sesarea. Mioma yang terletak di dalam atau bersambungan dengan jalan lahir pada awal kehamilan dapat tertarik ke atas seiring dengan membesarnya uterus sehingga pelahiran per vaginam tidak terhambat. Keputusan mengenai metode pelahiran biasanya tidak dibuat sebelum awitan persalinan.

2.5.4.      Pencitraan Mioma
Masalah penting yang perlu dipecahkan setelah ditemukannya suatu massa abdominopelvis adalah memastikan etiologinya. Ultrasonografi telah sangat banyak membantu tidak saja dalam mengidentifikasi massa secara tepat tetapi juga dalam mengikuti kemajuan, regresi, dan resppons terhadap terapi. Terdapat keterbatasan-keterbatasan sonografi dalam mengevaluasi massa di pelvis. Massa di ovarium (baik jinak maupun ganas), kehamilan mola, kehamilan ektopik, missed abortion, kelainan usus, dan bahkan kepala janin dapat saja disangka-sangka sebagai mioma uterus. Pada sebagian kasus dianjurkan pemakaian pencitraan Dropler berwarna.
            Untuk meningkatkan akurasi, beberapa dokter menganjurkan bahwa MRI menggantikan, atau paling tidak berfungsi sebagai pemeriksaan tambahan bagi ultrasonografi. Telah dilakukan perbandingan antara ultrasonografi dengan MRI pada kelompok wanita yang sama, dan MRI terbukti lebih baik daripada ultrasonografi, terutama dalam mengidentifikasi mioma uteri secara tepat. Namun, bahkan dengan MRI dapat terjadi kesalahan dalam mendiagnosis mioma uteri. Hal ini kembali menekankan penting dan sulitnya menegakkan diagnosis noninvasif bagi suatu massa abdominopelvis selama kehamilan. Beberapa peneliti melaporkan teknik-teknik yang menggunakan MRI yang sangat meningkatkan kehandalan identifikasi mioma uteri bila dibandingkan dengan struktur panggul lainnya.

2.5.5.      Miomektomi Selama Kehamilan
Miomektomi selama kehamilan harus dibatasi pada mioma yang jelas memiliki tangkai yang dapat dijepit dan diikat dengan mudah. Mioma jarang dipotong dari uterus selama kehamilan atau saat pelahiran, karena dapat terjadi perdarahan deras dan kadang-kadang terpaksa dilakukan histerektomi. Walaupun Glavind dkk. (1990) berkeras bahwa pendekatan agresif tidak akan meningkatkan kematian janin dibandingkan dengan tindakan nonbedah, tetapi hal ini masih perlu dibuktikan. Biasanya mioma mengalami involusi nyata setelah pelahiran; karena itu, miomektomi harus ditunda sampai terjadi involusi.

2.5.6.      Miommektomi Sebelum Kehamilan
Pengangkatan suatu leiomioma intramural sangat berbahaya bagi kehamilan berikutnya. Setelah miomektomi, terjadi peningkatan bermakna risiko ruptur uteri pada kehamilan berikutnya. Selain itu, ruptur dapat terjadi pada awal kehamilan dan jauh sebelum persalinan. Apabila miomektomi menyebabkan defek yang mengenai atau dekat dengan endometrium, kehamilan berikutnya perlu diakhiri sebelum terjadi persalinan aktif. Baru-baru ini dilakukan embolisasi arteri pada mioma uteri wanita tidak hamil. Hasil dan penyulit pada kehamilan dan setelah tindakan ini diketahui.

2.6. Endometrosis
Endometriosis aktif yang parah jarang menjadi penyulit kehamilan. Gejala klinis yang aneh dan menjengkelkan dapat disebabkan oleh ruptur kista endometrium. Mungkin timbul gambaran klinis yang mirip dengan gejala pielonefritis, apendisitis akut, atau kehamilan tuba. Walaupun jarang, endometrioma panggul yang membesar dapat menyebabkan distosia; tetapi sebagian besar wanita dengan endometriosis menjalani kehamilan dan persalinan tanpa penyulit.

2.7. Adenomiosis
Azizz (1986) mengulas literatur selama 80 tahun terakhir dan melaporkan bahwa adenomosis dan kehamilan terjadi bersamaan pada 17 persen wanita berusia lebih dari 35 tahun. Untungnya, keadaan ini jarang menyebabkan masalah obstetri atau bedah. Namun, apabila terjadi, penyulit biasanya serius dan mencakup anatra lain ruptur uteri, kehamilan ektopik, atonia uteri, dan plasenta previa. Kelahiran hidup dapat terjadi setelah terapi adenomiosis dengan agonis gonadotropin-releasing hormone. Diagnosis adenomiosis yang akurat dan noninvasif sekarang dapat dilakukan dengan teknik MRI.

2.8. Massa Ovarium
Semua jenis massa ovarium dapat menjadi penyulit pada kehamilan. Insiden tumor dan kista bervariasi sesuai kelompok usia yang diteliti, serta pemakaian sonografi rutin selama kehamilan. Dari kajian mereka, Katz dkk. (1993) mendapatkan insiden rata-rata massa adneksa sebesar 1 dalam 200 kehamilan. Whitecar dkk. (1999) melaporkan insiden massa yang memerlukan laparotomi sebesar 1 dalam 1300 kehamilan. Koonings dkk. (1988) melaporkan adanya satu neoplasma adneksa untuk setiap 197 seksio sasarea.
Tumor ovarium yang tersering dijumpai adalah tumor kistik. Whitecar dkk. (1999) melaporkan 130 kasus massa adneksa yang didiagnosis selama kehamilan; 30 persennya adalah teratoma kistik, 28 persen kistadenoma serosa atau musinosa, 13 persen kista korpus luteum, dan 7 persen kista jinak lainnya. Dari 130 massa, 5 persen bersifat ganas. Separuh dari keganasan ini adalah karsinoma serosa dengan potensi keganasan rendah. Pengamatan serupa dilaporkan oleh Sunoo dkk. (1990). Hopkins dan Duchon (1986) mendapatkan bahwa teratoma kistik jinak dan kista korpus luteum masing-masing merupakan penyebab pada sepertiga kasus massa adneksa.
Penyulit palng sering dan paling serius dari kista ovarium jinak selama kehamilan adalah torsio. Torsio menjadi penyulit pada 5 persen dari 130 massa adneksa. Torsio paling sering terjadi pada trimester pertama, dan dapat menyebabkan ruptur kista ke dalam rongga peritoneum. Ruptur kista juga dapat terjadi saat persalinan atau pelahiran secara bedah. Apabila mengahambat panggul, tumor dapat menyebabkan ruptur uteri.

2.8.1.      Penatalaksanaan
Pada awala kehamilan, ovarium mungkin membesar, menimbulkan kecurigaan adanya neoplasma. Ovarium yang diameternya kurang dari 6 cm biasanya disebabkan oleh terbentuknya korpus luteum. Thornton dan Wells (1987) melaporkan bahwa dengan dikembangkannya sonografi beresolusi tinggi, dapat dilakukan pendekatan konservatif terhadap kista ovarium berdasarkan karakterstik sonografiknya. Mereka menganjurkan reseksi semua kista yang dicurigai mengalami ruptur, torsio, atau menghambat persalinan, dan yang diameternya lebih dari 10 cm karena meningkatnya risiko kanker pada kista besar. Kista yang ukurannya kurang dari 5 cm dapat dibiarkan. Pada kista dengan diameter 5 sampai 10 cm kista dapat menunggu apabila gambarannya berupa kista simpleks. Whitecar dkk. (1999) menentang pendekatan ini karena separuh dari 41 wanita dengan kista simpleks pada sonografi ternyata mengidap neoplasma. Dari 20 ini, terdapat dua yang mengidap tumor serosa dengan potensi keganasan rendah. Sebagian besar sependapat bahwa apabila kista berukuran 5 sampai 10 cm memiliki septa atau nodulus, atau apabila terdapat komponen padat, maka kista harus direseksi.
Fleischer dkk. (1990) menganjurkan observasi untuk wanita asimtomatik dengan massa kurang dari 5 cm. Apabila massa membesar, menimbulkan gejala, atau memperlihatkan gambaran sonografik yang mencurigakan, adanya keganasan sangat perlu dipikirkan. Beberapa dar gambaran tersebut adalah septum ireguler, pertumbuhan papiler berlebihan, atau daerah padat yang luas. Mereka melaporkan 49 wanita dengan teratoma kistik ovarium berukuran kurang dari 6 cm yang didiagnosis secara sonografis. Selain abortus, terjadi 63 kehamilan tanpa penyulit torsio, ruptur atau obstruksi persalinan.
Hess dkk. (1988) menganjurkan reseksi elektif setiap massa ovarium berukuran 6 cm atau lebih yang menetap setelah 16 minggu. Mereka melaporkan perbaikan hasil akhir kehamilan pada wanita yang menjalani tindakan ini dibandingkan dengan yang terpaksa menjalani tindakan darurat karena mengalami ruptur, terpuntir, atau infark. Platek dkk. (1995) melaporkan penatalaksanaan semacam ini pada massa adneksa persisten yang ukurannya 6cm atau lebih termasuk yang bersifat simpleks atau kompleks. Mereka menyebut insiden penyulit ini sebesar 1 per 1400 pada lebih dari 43.000 wanita setelah minggu ke-16. Penelitian mereka bersifat retrospektif dan multi institusi; karenanya penanganan bervariasi. Dari 31 wanita dengan massa persisten, 60 persen menjalani intervensi operatif. Sebagian besar dari massa ini adalah kista jinak. Dari 12 wanita yang ditangani secara konservatif, lima mengalami gejala dan dilakukan drainase kista ovarium jinak dengan gambaran sitologi negatif. Laparoskopi pada usia gestasi antara 9 dan 17 minggu untuk mengangkat teratoma kistik jinak pada 12 wanita. Walaupun 10 dari 12 tumor ini, 5 sampai 13 cm mengalami ruptur saat dioperasi, tidak timbul tanda-tanda peritonitis.



2.8.2.      Neoplasma Ovarium
Neoplasma ovarum ganas jarang terjadi selama kehamilan, tetapi insiden tumor ini mungkin meningkat akibat dikenalinya tumor-tumor borderline atau berpotensi ganas ringan serta pemakaian ultrasonografi secara luas

DAFTAR PUSTAKA

1.      Cunningham, F. Gary. Dkk. 2006. Obstetri Williams. Vol 2. Jakarta : EGC
2.      Wiknjosastro H. 2005. Ilmu Kandungan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
3.      Sastrawinata S. Ginekologi. 1989. Obstetri dan Ginekologi. Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran-Bandung Percetakan Elstar   Offset.
4.      Rayburn, William F. 2001. Obstetri & Ginekologi.  Jakarta : Widya Medika.
5.      Mochtar, Rustam. 1995. Sinopsis Obstetri. Jakarta: EGC.





                   
        
 














Tidak ada komentar:

Posting Komentar