Jumat, 12 November 2010

FARMAKOLOGI DIABETES MELLITUS


FARMAKOLOGI DIABETES MELLITUS

1. Sulfonylureas
Pertama kali disetujui FDA pada 1962 dengan label tolbutamide (Orinase), obat golongan sulfonylurea dengan cepat menjadi pengobatan utama diabetes tipe 2. Meski obat-obatan terbaru kemudian membanjiri pasar obat,
sulfonylurea masih memegang peranan utama dalam farmakologi manajemen diabetes melitus tipe 2.
Sulfonylurea menstimulasi sel-sel beta dalam pankreas untuk memproduksi lebih banyak insulin. Obat ini juga membantu sel-sel dalam tubuh menjadi lebih baik dalam mengelola insulin. Pasien yang paling baik merespon sulfonylurea adalah pasien diabetes mellitus tipe 2 berusia di bawah 40 tahun, dengan durasi penyakit kurang dari lima tahun sebelum pemberian obat pertama kali, dan kadar gula darah saat puasa kurang dari 300 mg/dL (16,7 mmol/L).
Sekitar dua pertiga pasien yang memulai terapi dengan sulfonylurea menunjukkan respon meskipun lebih dari 20 persennya kemudian membutuhkan obat tambahan. Hanya sedikit pasien dengan diabetes tak terkontrol menerima manfaat klinis saat mengganti sulfonylureas dengan obat lain.
Untuk mengontrol kadar gula darah secara adekuat, obat ini sebaiknya diberikan 20-30 menit sebelum makan. Beberapa jenis obat yang mengandung sulfonylurea antara lain chlorpropamide (Diabinese), tolazamide (Tolinase), acetohexamide, glipizide (Glucotrol), tolbutamide (Orinase), glimepiride (Amaryl), glyburide (DiaBeta, Micronase), glibenclamide, dan gliclazide.
Kebanyakan pasien bisa menerima sulfonylurea dengan baik selama 7 hingga 10 tahun sebelum efektifitasnya menurun. Untuk meningkatkan manfaatnya, sulfonylureas bisa dikombinasikan dengan insulin dalam jumlah kecil atau dengan obat diabetes lain seperti metformin atau thiazolidinedione. Beberapa studi terhadap pasien diabetes melitus tipe 2 melaporkan, kombinasi insulin dengan dua jenis sulfonylurea yakni chlorpropamide atau glipizide, bisa mencapai kontrol glukosa yang lebih baik dalam jangka waktu lama dibandingkan hanya dengan insulin.
Sulfonylurea sebaiknya tidak diberikan pada wanita hamil atau menyusui, dan pasien-pasien yang elergi terhadap obat golongan sulfa. Efek samping utama obat ini adalah kenaikan berat badan, dan retensi air. Meskipun sulfonylurea memiliki risiko hipoglikemia lebih rendah dibandingkan insulin, namun hipoglikemia yang diakibatkan sulfonylureas bisa berlangsung lama dan berbahaya. Sulfonylureas jenis baru seperti glimipiride, memperlihatkan risiko hipoglikemia hanya sepersepuluh dibandingkan sulfonylureas terdahulu. Beberapa pasien juga dilaporkan mendapat risiko-meski kecil gangguan pada jantung. Sulfonylureas berinteraksi dengan banyak sekali jenis obat, sehingga pasien perlu ditanya obat-obat apa saja yang mereka konsumsi termasuk obat-obatan OTC dan obat alternatif.

2. Meglitinida
Meglitinida juga termasuk jenis obat diebetes yang bekerja dengan menstimulasi sel-sel beta di pankreas untuk memproduksi insulin. Yang termasuk golongan Meglitinides adalah repaglinida (Prandin), nateglinida (Starlix), dan mitiglinida. Repaglinida merupakan derivat asam benzoat. Obat ini merupakan meglitinida non-sulfonylurea yang pertama dikenalkan pada 1998.
Mekanisme aksi dan profil efek samping repaglinida hampir sama dengan sulfonylurea. Agen ini memiliki onset yang cepat dan diberikan saat makan, dua hingga empat kali setiap hari. Repaglinida bisa sebagai pengganti bagi pasien yang menderita alergi obat golongan sulfa yang tidak direkomendasikan sulfonylurea. Obat ini bisa digunakan sebagai monoterapi atau dikombinasikan dengan metformin. Harus diberikan hati-hati pada pasien lansia dan pasien dengan gangguan hati dan ginjal.
Nateglinida cenderung bekerja lebih cepat dan aksinya lebih pendek dibandingkan repaglinida. Obat-obat ini secara khusus efektif bila dikombinasikan dengan metformin atau obat diabetes lain. Kelebihan lain, obat ini merupakan agen yang baik bagi pasien yang memiliki masalah ginjal.
Efek samping umum golongan meglinitide adalah diara dan sakit kepala. Sama dengan sulfnylurea, repaglinida memilki risiko pada jantung. Jenis yang lebih baru, seperti nateglinida, memiliki risiko sama namun lebih kecil.

3. Metformin (Biguanida)
Metformin merupakan obat yang cara kerjanya terutama menurunkan glukosa darah dengan menekan produksi glukosa yang diproduksi hati dan mengurangi resistensi insulin. Metformin bisa digunakan sebagai monoterapi atau dikombinsikan dengan sulfonylurea. Kombinasi dengan obat-obat sekresi insulin, insulin-sensitizing, atau insulin sendiri akan efektif. Metformin tidak menyebabkan hipoglikemia atau penambahan berat badan, jadi sangat baik digunakan pada pasien diabetes melitus tipe 2 yang menderita obesitas (pada beberapa studi bahkan pasien mengalami penurunan berat badan).
Metformin juga memiliki efek manfaat pada kadar lipid dan kolesterol dan bersifat protektif untuk jantung. Pada sebuah studi banding, metformin menurunkan angka kematian hingga 85% dibandingkan insulin (28%), sulfonylurea (16%), dan thiazolidinedione (14%). Obat ini juga pilihan pertama untuk anak-anak dan terbukti efektif untuk wanita yang menderita polikistik ovarium dan resistensi insulin.
Metformin memiliki kontraindikasi dengan pasien yang memiliki insufisiensi ginjal (misal: kadar kreatinin dalam serum 1,5 mg/dL pada pria dan 1,4 mg/dL pada wanita, atau terdapat pembersihan kreatinin abnormal) atau asidosis metabolik akut maupun kronis. Namun yang lebih hati-hati lagi adalah penggunaan metformin pada gangguan hati berat dan hipoksemia (pada pulmonary obstruktif kronis atau gagal jantung kongenstif), dan pecandu alkohol berat maupun sedang. Pada pasien-pasien ini, metformin bisa menyebabkan asidosis laktat, suatu kondisi yang pada 50 persen pasien bisa fatal (1 episode per 100.000 pasien setiap tahun).
Cimetidine (Tagamet) bisa mengurangi pembersihan ginjal oleh metformin dan bisa meningkatkan potensi metformin. Pasien yang menerima obat-obat antikoagulan dan metformin kemungkinan memerlukan warfarin dosis tinggi untuk mecapai efek antitrombotik. Indeks hemogloblin, hematokrit, sel-sel darah merah, dan fungsi ginjal harus dimonitor setidaknya setiap tahun pada pasien yang menerima metformin.
Meski manfaatnya sudah terbukti, namun Metformin juga tidak terlepas dari efek samping. Misalnya rasa metalik, masalah pada gastrointestinal termasuk neusa dan diare. Metformin juga mengurangi penyerapan vitamin B1 dan asam folat, yang sangat penting mencegah gangguan jantung. Ada laporan ditemukannya asidosis laktat, kondisi yang berpotensi mengncam jiwa, khususnya pada mereka yang memiliki faktor risiko. Namun analisis kesluruhan menyebutkan tidak ada risiko metformin yang lebih besar dibandingkan obat diabetes tipe 2 lain.

4. Thiazolidinedione
Thiazolidinedione (sering juga disebut TZDs atau glitazone) berfungsi memperbaiki sensitivitas insulin dengan mengaktifkan gen-gen tertentu yang terlibat dalam sintesa lemak dan metabolisme karbohidrat. Thiazolidinedione tidak menyebabkan hipoglikemia jika digunakan sebagai terapi tunggal, meskipun mereka seringkali diberikan secara kombinasi dengan sulfonylurea, insulin, atau metformin.
Beberapa studi menunjukkan thiazolidinediones mengakibatkan berbagai efek baik pada jantung, termasuk penurunan tekanan darah dan peningkatan trigliserida dan kadar kolesterol (termasuk peningkatan kadar HDL, yang dikenal sebagi kolesterol baik). Obat ini juga meredam molekul yang disebut 11Best HSK-1 yang berperan penting pada sindrom metabolik (kondisi pre diabetes, termasuk tekanan darah tinggi dan obesitas) dan diabetes melitus tipe 2.
Rosiglitazone (Avandia) dan pioglitazone (Actos) adalah obat dari golongan thiazolidinedione yang sudah disetujui. Salah satu studi meyakini rosiglitazone bisa memperbaiki fungsi sel beta dan membantu mencegah progresivitas diabetes. Tetapi, di balik manfaatnya yang besar, efek samping obat golongan ini pun mengkhawatirkan.
Thiazolidinediones bisa menyebabkan anemia dan bersama obat diabetes oral lainnya bisa menaikkan berat badan meski masih dalam skala moderat. Obat ini juga meningkatkan risiko peningkatan cairan yang akan memperburuk gagal jantung. Faktanya, troglitazone (Rezulin), agen pertama golongan ini ditarik dari pasaran setelah ditemukan laporan gagal jantung, gagal hati, dan kematian. Tetapi thiazolidinedione saat ini tidak menunjukkan efek yang sama pada hati meskipun ada beberapa laporan liver injury.
Pasien yang mendapat thiazolidinedione harus dimonitor secara teratur menyusul studi tahun 2002 yang menemukan insiden cukup tinggi gagal jantung pada pasien yang menggunakan obat ini. Meski studi ini tidak dibuktikan dengan relasi penyebab dan ada dugaan temuan gagal jantung terjadi pada pasien yang memang sudah mengidapnya, namun studi lebih lanjut tetap diperlukan. Beberapa pasien yang mengalami kenaikan berat badan dengan cepat, retensi cairan, atau napas pendek harus dipantau lebih ketat. Obat jenis ini belum diteliti secara intensif dan para ahli meyakni seharusnya tidak digunakan secara rutin untuk manajemen diabetes melitus tipe 2, hanya dalam konteks studi klinis.

5. Alpha-Glucosidase Inhibitors
Alpha-glucosidase inhibitor, termsuk di dalamnya acarbose (Precose, Glucobay) dan miglitol (Glyset) memilki cara kerja mengurangi kadar glukosa dengan menginterfensi penyerapan sari pati dalam usus. Acarbose cenderung menurunkan kadar insulin setelah makan, yang merupakan keuntungan khusus obat ini, karena kadar insulin yang tinggi setelah makan berkaitan dengan pengingkatan risiko penyakit jantung. Studi tahun 2002 juga menemukan bahwa obat ini kemungkinan bisa menunda datangnya diabetes tipe 2 pada orang risiko tinggi. Alpha-glucosidase inhibitor tidak seefektif obat lain bila digunakan sebagai terapi tunggal. Namun bila digunakan secara kombinasi, misalnya dengan metformin, insulin, atau sulfonylurea, bisa meningkatkan efektivitasnya.
Efek samping yang paling sering dikeluhkan adalah produksi gas dalam perut dan diare, khususnya setelah konsumsi makanan tinggi kandungan karbohidrat yang menyebabkan sepertiga pasien berhenti menggunakan obat ini. Medikasi obat ini dilakukan saat makan. Obat ini juga kemungkinan mempengaruhi penyerapan zat besi.
Hepatotoksisitas (tergantung dosis) juga dikaitkan dengan obat ini. sehingga uji fungsi hati harus dilakukan terutama pada pasien yang menerima dosis tinggi (lebih dari 50 mg tiga kali sehari). Peningkatan enzim transaminase diakibatkan penghentian obat yang kadangkala asimtomatik. Kadar transaminase dalam serum harus dicek setiap tiga bulan di tahun pertama pasien menerima obat dan selanjutnya tetap dilakukan secara periodeik.
Obat-obat yang mudah berikatan dengan obat lain seperti cholestyramine, seharusnya diberikan dengan rentang pemberian dua atau empat jam dengan alpha-glucosidase inhibitor untuk menghindari interaksi obat. Obat-obat absorban dan preparat enzim digestif sebaiknya tidak diberikan bersama acarbose.

6. Vildagliptin
Vildagliptin adalah 'Dipeptidyl peptidase-4 Inhibitor (DPP-4 Inh) yang berpotensi, selektif dan reversibel. Melalui mekanisme itu, vildagliptin memperpanjang waktu kerja GLP-1 sehingga terjadi peningkatan insulin dan sekaligus menekan sekresi glukagon sehingga terjadi kontrol glukosa darah yang diinginkan.
Obat yang diluncurkan oleh PT. Dexa Medica pada bulan oktober 2008 (Vildagliptin) memperbaiki sensitivitas sel alfa dan beta terhadap glukosa, karena menigkatnya glucose-dependent insulin secretion dan menurunkan sekresi glukagon.
Meskipun obat ini cukup mahal, yaitu Rp 4.700/tablet, namun obat ini memiliki efek Farmakologik yang maksimal. Prof. Dr. Slamet Suyono, SpPD-KEMD, yang menjadi salah satu pembicara pada acara media edukasi diabetes melitus tipe 2 di Jakarta, hari ini (16/10), mengatakan obat ini berfungsi menghemat fungsi sel beta penkreas, memperbaiki fungsi sel beta, merupakan satu-satunya jenis OAD yang juga bekerja terhadap sel alfa, meminimalisir interaksi obat dan efektif terhadap obat pengobatan diabetes yang sudah gagal dengan terapi lain.

7. Insulin
Untuk pasien yang tidak bisa mengontrol diabetes dengan diet atau pengobatan oral, kombinasi insulin dan obat-obatan lain bisa sangat efektif. Insulin kadangkala dijadikan pilihan sementara, misalnya selama kehamilan. Namun, pada psien dengan diabetes melitus tipe 2 yang memburuk, maka penggantian insulin total menjadi suatu kebutuhan. Ada beberapa bentuk insulin yang tersedia atau tengah dalam penelitian.
NPH yang merupakan insulin standar.
Long-acting insulin (insulin glargine, ultralente insulin) yang menstimulasi sekresi insulin alami. Para ahli banyak menganjurkan insulin jenis ini.
Insulin lispro dan insulin aspart yang merupakan fast-acting insulins. Diberikan sebelum makan, dan aksi pendeknya mengurangi risiko hipoglikemia sesudahnya. Stud pada pasien diabetes melitus tipe 2, insulin lispro bisa memperbaiki kualitas hidup dan risiko hipoglikemia
dibandingkan insulin reguler, meski dalam hal kontrol gula darah tidak ada perbedaan.
Investigative oral insulin kini tengah mendapat perhatian sebagai pengganti insulin. Beberapa diberikan secara inhaler atau oral spray yang diserap di cheek lining (Oralin). Pemberian secara oral kemungkinan bisa mengurangi komplikasi jantung dibandingkan insulin injeksi. Namun studi pada tikus melaporkan adanya masalah pada hati dan meningkatnya kadar trigliserida.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar