Rabu, 11 Agustus 2010

PERKEMBANGAN KEPRIBADIAN

1.  PSIKOLOGI PERKEMBANGAN KEPRIBADIAN
Kepribadian dalam psikoanalisis adalah pola adaptasi terhadap dorongan instingtual dan dorongan dari linkungan yang sudah menjadi cirri khas atau kebiasaan individu dan yang langsung dapat diamati (dibedakan dari ego), seperti perilaku dan cara pembelaan, bereaksi, berpikir, dan merasa. Dan secara sederhana kepribadian adalah cara khas seseorang berperilaku dan segala sifatnya yang menyebabkan ia dapat dibedakan dari orang yang lain.
Perkembangan manusia dalam psikoanalitik merupakan suatu gambaran yang sangat teliti dari proses perkembangan psikososial dan psikoseksual, mulai dari lahir sampai dewasa. Dalam teori Freud setiap manusia harus melewati serangkaian tahap perkembangan dalam proses menjadi dewasa. Tahap-tahap ini sangat penting bagi pembentukan sifat-sifat kepribadian yang bersifat menetap.
2. TAHAP-TAHAP PERKEMBANGAN KEPRIBADIAN
2.1. Tahap perkembangan kepribadian menurut freud
2.1.1. Tahap Oral (usia 0 – 1 tahun)
Fase oral adalah stadium perkembangan paling awal, di mana kebutuhan persepsi dan cara ekspresi bayi terutama berpusat di mulut, bibir, lidah dan organ lain yang berhubungan dengan zona oral (termasuk aktivitas menggigit dan menghisap).
Zona oral mempertahankan peranan dominan bayi dalam organisasi jiwa selama kira-kira 18 bulan pertama kehidupan. Sensasi oral adalah rasa haus, lapar, stimulasi taktil yang menyenangkan yang ditimbulkan oleh puting payudara (ibu menjadi sumber maknan dan kenikmatan erotic yang didapati dengan cara menetek) atau penggantinya, sensasi yang berhubungan dengan menelan dan rasa kenyang. Rasa lapar mendorongnya mengenal dunia luar melalui mulutnya. Menelan sesuatu berarti memberi kepuasan dan memuntahkan sesuatu mengakibatkan ketegangan. Trias oral terdiri dari keinginan untuk makan, untuk tidur, dan untuk mencapai relaksasi yang terjadi pada akhir pengisapan dan tepat sebelum onset tidur.
Tujuan fase oral adalah untuk menegakkan ketergantungan mempercayai pada pengasuhan dan mempertahankan objek untuk menegakkan ekspresi yang baik dan pemuasan kebutuhan libido oral tanpa konflik atau ambivalensi yang berlebihan dari harapan sadistik oral.
Resolusi fase oral yang berhasil memberikan dasar dalam struktur karakter dalam kemampuan memberikan dan menerima orang lain tanpa ketergantungan yang berlebihan atau iri dan kemampuan untuk mempercayai orang lain dengan rasa kejujuran, dan juga dengan rasa keyakinan dan kepercayaan pada diri sendiri.
Pemuasan atau kekurangan oral yang berlebihan dapat menyebabkan fiksasi libidinal yang berperan dalam sifat patologis, sifat tersebut dapat termasuk optimisme yang berlebihan, narsisisme, pesimisme (sering terlihat pada keadaan depresif) dan sifat menuntut. Karakter oral yang patologis adalah sering tergantung secara berlebihan dan mengharuskan orang lain member kepada mereka dan merawat mereka, ingin diberi makan tetapi sering menunjukkan kebalikan jika diberikan, sering tergantung berlebihan pada benda untuk mempertahankan harga diri mereka, serta sering cemburu dan iri.
2.1.2. Tahap Anal (usia 1 – 3 tahun)
Tahapan ini berlangsung antara usia 1 dan 3 tahun. Pada fase ini dubur merupakan daerah pokok aktivitas dinamik,  kateksis dan anti kateksis berpusat pada fungsi eliminer  pembuangan kotoran). Mengeluarkan faces menghilangkan perasaan tekanan yang tidak menyenangkan dari akumulasi sisa makanan. Sepanjang tahap anal, ltihan defakasi (toilet training) memaksa nak untuk belajar menunda kepuasan bebas dari tegangan anal. Freud yakin toilet training adalah bentuk mulaidari belajar memuaskan id dan superego sekaligus, kebutuhan id dalam bentuk kenikmatan sesudah defakasi dan kebutuhan superego dalam bentuk hambatan sosial atau tuntutan sosial untuk mengontrol kebutuhan defakasi. Semua hambatan bentuk kontrol diri (self control) dan penguasaan diri (self mastery).
Berasal dari fase anal, dampak toilet training terhadap kepribadian di masa depan tergantung kepada sikap dan metode orang tua dalam melatih. Misalnya, jika ibu terlalu keras, anak akan menahan facesnya dan mengalami sembelit. Ini adalah prototip tingkahlaku keras kepala dan kikir (anal retentiveness personality). Sebaliknya ibu yang membiarkan anak tanpa toilet training, akan membuat anak bebas melampiaskan tegangannya dengan mengelurkan kotoran di tempat dan waktu yang tidak tepat, yang di masa mendatang muncul sebagai sifat ketidakteraturan/jorok, deskruktif, semaunya sendiri, atau kekerasa/kekejaman (anal exspulsiveness personality). Apabila ibu bersifat membimbing dengan kasih sayang (dan pujian kalau anak defakasi secara teratur), anak mendapat pengertian bahwa mengeluarkan faces adalah aktivitas yang penting, prototif dari, sifat kreatif dan produktif.
2.1.3. Fase uretral
Fase uretral ini adalah stadium transisional antara fase perkembangan anal dan falik, pada stadium ini terdapat beberapa karakterisik yang sama dengan stadium anal sebelumnya dan beberapa beberapa karakterisik stadium falik selanjutnya.
Erostisme uretral digunakan untuk menyebutkan kesenangan dalam urinasi, seperti juga kesenangan dalam retensi uretra yang setara dengan retensi anal. Kehilangan kendali uretra seperti pada enuresis, sering kali memiliki kepentingan regresif yang mengaktifkan kembali konflik anal.
Selain efek sehat yang analog dengan efek dari periode anal, kompetensi uretra menghasilkan rasa kebanggaan dan keyakinan diri yang didapatkan dari kinerjanya. Resolusi konflik uretra menentukan stadium untuk pembenihan identitas jenis kelamin dan identifikasi selanjutnya.
Sifat uretral yang predominan adalah kompetitivitas dan ambisi, kemungkinan berhubungan dengan kompensasi atas rasa malu yang disebabkan oleh kehilangan kendali uretra. Dalam kendali hal ni mungkin merupakan awal untuk perkembangan kecemburuan penis (penis envy), yang berhubungan dengan rasa malu dan ketidakadekuatan feminin karena tidak mampu menyesuaikan kinerja uretra laki-laki, dan ini juga berhubungan dengan masalah pengendalian rasa malu.
2.1.4. Tahap Phallic (usia 3 – 6 tahun)
Fase falik dimulai pada suatu saat selama tahun ketiga perkembangan dan berlanjut sampai kira-kira akhir tahun kelima. Fase falik ditandai oleh fokus primer minat, stimulasi dan kegembiraan seksual pada daerah genital. Penis menjadi organ perhatian utama pada kedua jenis kelamin anak-anak.
Kompleks Oedipus menunjukkan adanya hubungan cinta hangat yang dibentuk dalam fase ini, seorang anak pria merasa tertarik kepada ibunya dan memandang sebagai saingan, akan tetapi ia mulai merasakan juga bahwa minat seksualnya tidak boleh diteruskan atau penisnya akan diambil. Kompleks kastrasi ditunjukkan dengan seorang anak wanita yang menemukan bahwa klitoris yang dipunyainya lebih inferior daripada rekan imbangnya (penis anak laki-laki). Kekurangan (kehilangan) penis ini sangat dirasakan oleh anak wanita, sehingga ia terluka dan menjadi iri hati terhadap kaum pria yang disebut iri penis (penis envy). Dan selanjutnya ibunya yang mula-mula mnejadi objek cinta, ternyata juga tidak memiliki penis, sehingga anak wanita ini akan bertambah kecewa dan menyalahkan ibunya yang melahirkan ia ke dunia. Lalu ia berbalik ke ayahnya dengan harapan akan mendapatkan penis atau seorang bayi sebagai penggantinya, yang disebut kompleks elektra. Stadium falik disertai dengan peningkatan masturbasi genital, disertai oleh khayalan yang tidak disadari dan menonjol tentang keterlibatan seksual dengan orangtua berjenis kelamin kebalikan.
Tujuan dari stadium ini adalah untuk memusatkan minat erotik pada daerah genital dan fungsi genital, pemusatan ini meletakkan dasar bagi identitas jenis kelamin dan berperan untuk mengintegrasikan residu dari stadium perkembangan sebelumnya ke dalam orientasi genital seksual yang menonjol.
Fase falik memberikan dasar bagi timbulnya rasa identitas seksual, suatu rasa dengan keingintahuan tanpa rasa malu, inisiatif tanpa rasa bersalah dan juga rasa penguasaan bukan saja terhadap objek dan orang dalam lingkungan tetapi juga terhadap proses dan impuls internal.
Asal mula sifat patologis dari ketelibatan falik-oedipal adalah cukup kompleks dan merupakan sasaran dari berbagai modifikasi yang melingkupi hampir semua perkembangan neurotik. Tetapi, masalah adalah berpusat pada kastrasi pada laki-laki dan kecemburuan penis pada perempuan. Pusat penyimpangan perkembangan lain yang penting dalam periode ini adalah berasal dari pola identifikasi yang berkembangan dari resolusi kompleks oedipal. Pengaruh kecemasan kastrasi dan kecemburuan penis, pertahanan terhadap keduanya, dan pola identifikasi yang timbul dari stadium falik adalah determinan utama perkembangan karakter manusia.
2.1.5. Tahap Latency (usia 6 – 12/13 tahun)
Fase latensi adalah stadium dorongan seksual yang relatif tenang atau tidak aktif selama periode dari resolusi kompleks oedipal sampai masa pubertas (dari 5-6 tahun sampai 11-13 tahun).
Dorongan seksual dialihkan kepada tujuan yang lebih diterima secara sosial, seperti sekolah dan olah raga. Pembentukan superego pada akhir periode oedipal dan maturasi fungsi ego lebih lanjut memungkinkan derajat pengendalian impuls instingtual yang lebih besar. Selama periode ini terjadi periode pertalian homoseksual primer bagi laki-laki dan perempuan, dan juga sublimasi energi libido dan agresif menjadi belajar enargetik dan aktivitas bermain, menggali lingkungan dan menjadi lebih cakap dalam menghadapi dunia benda dan orang di sekitar mereka.
Tujuan utama dari periode adalah integrasi identifikasi oedipal lebih lanjut dan konsolidasi identitas peran jenis kelamin dan peran jenis kelamin. Impuls instingtual yang relatif tenang dan pengendalian terhadapnya memungkinkan perkembangan aparatus ego dan keterampilan menguasai.
Fase latensi ini adalah periode integrasi dan konsolidasi pencapaian dalam perkembangan psikoseksual sebelumnya dan menegakkan pola penentu fungsi adaptif. Anak dapat mengembangkan rasa rajin dan kapasitas untuk menguasai objek dan konsep yang memungkinkan fungsi otonom dan dengan rasa inisiatif tanpa memiliki resiko kegagalan atau kekalahan atau rasa inferioritas. Pencapaian penting ini perlu integrasikan lebih jauh, akhirnya sebagai dasar penting bagi kepuasan hidup dewasa yang matur dalam pekerjaan dan cinta.
Bahaya dalam periode latensi dapat timbul baik dari tidak adanya perkembangan pengendalian internal atau kelebihan pengendalian internal. Tidak adanya pengendalian dapat menyebabkan kegagalan anak untuk menyublimasikan secara adekuat energi dalam minat belajar dan mengembangkan keterampilan, tetapi jika kelebihan pengendalian internal dapat menyebabkan penutupan prematur perkembangan kepribadian dan perluasan sifat karakter obsesif yang belum waktunya.
2.1.6. Tahap Genital (usia 12/13 – dewasa)
Fase genital atau remaja dari perkembangan psikoseksual adalah mulai sejak onset pubertas dari usia 11 sampai 13 tahun hingga orang mencapai masa dewasa. Maturasi fisiologis dari sistem genital (seksual) dan sistem hormonal yang menyertainya menyebabkan penguatan dorongan terutama dorongan libido. Hal ini menghasilkan regresi organisasi kepribadian, yang membuka kembali konflik dari stadium perkembangan psikoseksual sebelumnya dan memberikan kesempatan bagi resolusi tersebut dalam hal mencapai identitas seksual dan dewasa yang matur. Tujuan utama dari fase ini adalah perpisahan dari ketergantungan dan perlekatan pada orang tua dan penegakan relasi objek yang matur dan tidak sumbang.
Resolusi dan reintegrasi yang berhasil dari stadium psikoseksual sebelumnya dari fase genital yang penuh pada masa remaja, menentukan stadium normal bagi kepribadian matur yang lengkap dengan kapasitas untuk memenuhi dan memuaskan potensi genital dan suatu integrasi diri dan rasa identitas yang konsisten. Orang tersebut telah mencapai kapasitas yang memuaskan untuk pencapaian diri (self realization) dan peran serta yang berarti dalam bidang pekerjaan dan cinta dan dalam penerapan kreatif dan produktif untuk memuaskan dan menghargai tujuan dan nilai.
Resolusi dan fiksasi yang sebelumnya gagal pada berbagai fase atau aspek perkembangan psikoseksual akan menghasilkan defek patologis pada kepribadian dewasa yang sedang timbul, dan defek yang lebih spesifik dari kegagalan memecahkan masalah remaja.
Selain itu, Freud membagi struktur kepribadian manusia menjadi 3 sistem aspek:
1.     The id (Das es)
Id adalah tempat dorongan naluri (insting) dan berada di bawah pengawasan proses primer atau dorongan instingtual yang tidak tersusun. Dengan bekerja di bawah dominasi proses primer, id tidak mempunyai kemampuan untuk memperlambat atau memodifikasi dorongan instingtual. Id bekerja sesuai dengan prinsip kenikmatan tanpa memperdulikan kenyataan, dan seorang bayi pada waktu lahir telah mempunyai id. Bayi ini tidak mempunyai kemampuan untuk menghambat, mengawasi atau memodifikasi dorongan nalurinya, sehingga dia sangat tergantung pada ego orang lain. Fungsi id yaitu mencari kenikmatan dan menghindari diri dari ketidakenakan. Untuk menghindari diri dari ketidakenakkan maka id melakukan refleks dan reaksi-reaksi otomatis (seperti bersin, berkedip, dll) serta proses primer (seperti orang lapar lalu membayangkan makan).
2.     The Ego (Das ich)
Ego adalah aspek psikologi kepribadian dan timbul dari kebutuhan organisme untuk berhubungan dengan dunia luar secara realita. Ego memiliki semua ketiga dimensi topografik kesadaran, prasadar, dan bawah sadar. Pikiran logika dan abstrak dan ekspresi verbal adalah berhubungan dengan fungsi kesadaran dan prasadar ego, sedangkan mekanisme pertahanan tetap dalam bagian yang tidak disadari dari ego. Mula-mula bayi tidak sanggup membedakan badannya dari dunia luar, dan ego mulai terbentuk bilamana anak mulai merasa adanya perbedaan antara badannya dan dunia luar yaitu sewaktu berumur sekitar 1 tahun.
Ego lebih teratur organisasinya dan tugasnya adalah untuk menghindari ketidaksenangan dan rasa nyeri dengan melawan atau mengatur pelepasan dorongan nalurinya agar sesuai dengan tuntutan dunia luar. Ego merupakan organ pelaksana dari jiwa dan mengontrol pergerakan, persepsi, kontak dengan kenyataan, dan melalui mekanisme pertahanan yang ada padanya, memperlambat dan memodifikasi dorongan ekspresi. Ego bekerja sesua dengan prinsip kenyataan dan mempunyai mekanisme pembelaan, seperti supresi, salah pindah (displacement), rasionalisasi, penyangkalan, regresi, identifikasi, dll. Tujuan ego adalah mendapatkan kenikmatan dan menghindari ketidaknikmatan, tetapi dalam bentuk dan cara yang sesuai dengan kondisi-kondisi dunia real atau sesuai dengan kenyataan (baik kenyataan benda-benda maupun kenyataan nilai-nilai sosial).
Pertentangan utama terletak antara id dan ego, di mana tekanan kenyataan eksternal memungkinkan ego menyesuaikan energinya dengan id untuk melakukan kerja ego. Saat ego membawa pengaruh dari dunia luar untuk menunjang id, secara bersama-sama ego menggantikan prinsip kenyataan dengan prinsip kesenangan.
3.     The Superego (Das uber ich)
Superego menegakkan dan mempertahankan kesadaran moral seseorang atas dasar kompleks sistem ideal dan nilai-nilai yang diinternalisasikan dari orang tua atau aspek sosiologi kepribadian yang merupakan wakil-wakil nilai tradisional serta cita-cita masyarakat menurut warisan orang tua kepada anak-anaknya (yang diajarkan dengan bebagai perintah dan larangan). Superego mulai nyata waktu kompleks oedipus diselesaikan dan dengan ini identifikasi dengan orang tua dari sex yang sama dipercepat, superego mulai terbentuk pada umur 5-6 tahun dan membantu ego dalam pengawasan dan pengaturan pelepasan impuls dari id. Superego lebih merupakan yang ideal daripada yang real, dan superego berfungsi sebagai suatu agen yang memungkinkan meneliti dengan cermat tentang perilaku, pikiran dan perasaan seseorang atau fungsinya adalah menentukan apakah suatu hal itu susila atau tidak susila, benar atau salah menurut norma umum, dan dapat bertindak dalam cara yang sesuai dengan moral masyarakat.

3. STRUKTUR KEPRIBADIAN
Dalam teori psikoanalitik, struktur kepribadian manusia itu terdiri dari id, ego dan superego. Id adalah komponen kepribadian yang berisi impuls agresif dan libinal, dimana sistem kerjanya dengan prinsip kesenangan “pleasure principle”. Ego adalah bagian kepribadian yang bertugas sebagai pelaksana, dimana sistem kerjanya pada dunia luar untuk menilai realita dan berhubungan dengan dunia dalam untuk mengatur dorongan-dorongan id agar tidak melanggar nilai-nilai superego. Superego adalah bagian moral dari kepribadian manusia, karena ia merupakan filter dari sensor baik- buruk, salah- benar, boleh- tidak sesuatu yang dilakukan oleh dorongan ego.
Gerald Corey menyatakan dalam perspektif aliran Freud ortodoks, manusia dilihat sebagai sistem energi, dimana dinamika kepribadian itu terdiri dari cara-cara untuk mendistribusikan energi psikis kepada id, ego dan super ego, tetapi energi tersebut terbatas, maka satu diantara tiga sistem itu memegang kontrol atas energi yang ada, dengan mengorbankan dua sistem lainnya, jadi kepribadian manusia itu sangat ditentukan oleh energi psikis yang menggerakkan.
Menurut Calvil S. Hall dan Lindzey, dalam psikodinamika masing-masing bagian dari kepribadian total mempunyai fungsi, sifat, komponen, prinsip kerja dinamika dan mekanisme tersendiri, namun semuanya berinteraksi begitu erat satu sama lainnya, sehingga tidak mungkin dipisahkan. Id bagian tertua dari aparatur mental dan merupakan komponen terpenting sepanjang hidup. Id dan instink-instink lainnya mencerminkan tujuan sejati kehidupan organisme individual. Jadi id merupakan pihak dominan dalam kemitraan struktur kepribadian manusia.
Menurut S. Hall dan Lindzey, dalam Sumadi Suryabarata, cara kerja masing-masing struktur dalam pembentukan kepribadian adalah:
1.      Apabila rasa id nya menguasai sebahagian besar energi psikis itu, maka pribadinya akan bertindak primitif, implusif dan agresif dan ia akan mengubar impuls-impuls primitifnya.
  1. Apabila rasa ego-nya menguasai sebagian besar energi psikis itu, maka pribadinya bertindak dengan cara-cara yang realistik, logis, dan rasional.
  2. Apabila rasa super ego-nya menguasai sebagian besar energi psikis itu, maka pribadinya akan bertindak pada hal-hal yang bersifat moralitas, mengejar hal-hal yang sempurna yang kadang-kadang irrasional.
Jadi untuk lebih jelasnya sistem kerja ketiga struktur kepribadian manusia tersebut adalah: Pertama, Id merupakan sistem kepribadian yang orisinil, dimana ketika manusia itu dilahirkan ia hanya memiliki Id saja, karena ia merupakan sumber utama dari energi psikis dan tempat timbulnya instink. Id tidak memiliki organisasi, buta, dan banyak tuntutan dengan selalu memaksakan kehendaknya. Seperti yang ditegaskan oleh A. Supratika, bahwa aktivitas Id dikendalikan oleh prinsip kenikmatan dan proses primer. Kedua, Ego mengadakan kontak dengan dunia realitas yang ada di luar dirinya.
Di sini ego berperan sebagai “eksekutif” yang memerintah, mengatur dan mengendalikan kepribadian, sehingga prosesnya persis seperti “polisi lalulintas” yang selalu mengontrol jalannya id, super- ego dan dunia luar. Ia bertindak sebagai penengah antara instink dengan dunia di sekelilingnya. Ego ini muncul disebabkan oleh kebutuhan-kebutuhan dari suatu organisme, seperti manusia lapar butuh makan. Jadi lapar adalah kerja Id dan yang memutuskan untuk mencari dan mendapatkan serta melaksanakan itu adalah kerja ego. Sedangkan yang ketiga, superego adalah yang memegang keadilan atau sebagai filter dari kedua sistem kepribadian, sehingga tahu benar-salah, baik-buruk, boleh-tidak dan sebagainya. Di sini superego bertindak sebagai sesuatu yang ideal, yang sesuai dengan norma-norma moral masyarakat.
3.1 Kesadaran dan ketidaksadaran
Pemahaman tentang kesadaran dan ketidaksadaran manusia merupakan salah satu sumbangan terbesar dari pemikiran Freud. Menurutnya, kunci untuk memahami perilaku dan problema kepribadian bermula dari hal tersebut. Ketidakasadaran itu tidak dapat dikaji langsung, karena perilaku yang muncul itu merupakan konsekuensi logisnya. Menurut Gerald Corey, bukti klinis untuk membenarkan alam ketidaksadaran manusia dapat dilihat dari hal-hal berikut, seperti:
  1. mimpi; hal ini merupakan pantulan dari kebutuhan, keinginan dan konflik yang terjadi dalam diri
  2. salah ucap sesuatu; misalnya nama yang sudah dikenal sebelumnya
  3. sugesti pasca hipnotik
  4. materi yang berasal dari teknik asosiasi bebas
  5. materi yang berasal dari teknik proyeksi, serta isi simbolik dari simptom psikotik.
Sedangkan kesadaran itu merupakan suatu bagian terkecil atau tipis dari keseluruhan pikiran manusia. Hal ini dapat diibaratkan seperti gunung es yang ada di bawah permukaan laut, dimana bongkahan es itu lebih besar di dalam ketimbang yang terlihat di permukaan. Demikianlah juga halnya dengan kepribadian manusia, semua pengalaman dan memori yang tertekan akan dihimpun dalam alam ketidaksadaran.
3.2 Kecemasan
Bagian yang tidak kalah penting dari teori Freud adalah tentang kecemasan. Gerald Corey mengartikan kecemasan itu adalah sebagai suatu keadaan tegang yang memaksa kita untuk berbuat sesuatu. Kecemasan ini menurutnya berkembang dari konflik antara sistem id, ego dan superego tentang sistem kontrol atas energi psikis yang ada. Fungsinya adalah mengingatkan adanya bahaya yang datang.
Sedangkan menurut Calvin S. Hall dan Lindzey, kecemasan itu ada tiga: kecemasan realita, neurotik dan moral.
1.    kecemasan realita adalah rasa takut akan bahaya yang datang dari dunia luar dan derajat kecemasan semacam itu sangat tergantung kepada ancaman nyata.
2.    kecemasan neurotik adalah rasa takut kalau-kalau instink akan keluar jalur dan menyebabkan sesorang berbuat sesuatu yang dapat mebuatnya terhukum, dan
3.    kecemasan moral adalah rasa takut terhadap hati nuraninya sendiri. Orang yang hati nuraninya cukup berkembang cenderung merasa bersalah apabila berbuat sesuatu yang bertentangan dengan norma moral.
3.3 Mekanisme pertahanan ego
Untuk menghadapi tekanan kecemasan yang berlebihan, sistem ego terpaksa mengambil tindakan ekstrim untuk menghilangkan tekanan itu. Tindakan yang demikian itu, disebut mekanisme pertahanan, sebab tujuannya adalah untuk mempertahankan ego terhadap tekanan kecemasan. Dalam teori Freud, bentuk-bentuk mekanisme pertahanan yang penting adalah:
1.   Represi; ini merupakan sarana pertahanan yang bisa mengusir pikiran serta perasaan yang menyakitkan dan mengancam keluar dari kesadaran
2.   Memungkiri; ini adalah cara mengacaukan apa yang dipikirkan, dirasakan, atau dilihat seseorang dalam situasi traumatik
3.   Pembentukan reaksi; ini adalah menukar suatu impuls atau perasaan yang menimbulkan kecemasan dengan melawannya dalam kesadaran
4.   Proyeksi; ini berarti memantulkan sesuatu yang sebenarnya terdapat dalam diri kita sendiri ke dunia luar
5.   Penggeseran; merupakan suatu cara untuk menangani kecemasan dengan menyalurkan perasaan atau impuls dengan jalan menggeser dari objek yang mengancam ke “sasaran yang lebih aman”
6.   Rasionalisasi; ini cara beberapa orang menciptakan alasan yang “masuk akal” untuk menjelaskan disingkirnya ego yang babak belur
7.   Sublimasi; ini suatu cara untuk mengalihkan energi seksual kesaluran lain, yang secara sosial umumnya bisa diterima, bahkan ada yang dikagumi
8.   Regresi; yaitu berbalik kembali kepada prilaku yang dulu pernah mereka alami
9.   Introjeksi; yaitu mekanisme untuk mengundang serta “menelaah” sistem nilai atau standar orang lain.
3.4 Persepsi tentang sifat manusia
Menurut Sigmund Freud, perilaku manusia itu ditentukan oleh kekuatan irrasional yang tidak disadari dari dorongan biologis dan dorongan naluri psikoseksual tertentu pada masa enam tahun pertama dalam kehidupannya. Pandangan ini menunjukkan bahwa aliran teori Freud tentang sifat manusia pada dasarnya adalah deterministik. Namun demikian menurut Gerald Corey yang mengutip perkataan Kovel, bahwa dengan tertumpu pada dialektika antara sadar dan tidak sadar, determinisme yang telah dinyatakan pada aliran Freud luluh. Lebih jauh Kovel menyatakan bahwa jalan pikiran itu adalah ditentukan, tetapi tidak linier. Ajaran psikoanalisis menyatakan bahwa perilaku seseorang itu lebih rumit dari pada apa yang dibayangkan pada orang tersebut.
Dibawah ini beberapa contoh dan masalah tentang perkembangan kepribadian mulai dari anak sampai lanjut usia.
3.4.1. Anak dan balita.
1.      Banyak orangtua yang bingung menghadapi perubahan sikap anaknya yang tiba-tiba mogok tidak mau sekolah dengan berbagai alasan, mulai dari sakit perut, sakit kepala, sakit kaki dan seribu alasan lainnya. Bagi orangtua yang anaknya masih kecil, pemogokkan ini tentu bikin pusing karena menimbulkan kebingungan apakah alasan tersebut benar atau hanya dibuat-buat.
2.      Apakah anak saya bermasalah? Pertanyaan itu sering sekali terdengar diucapkan oleh para orang tua, terutama para Ibu. Umumnya mereka khawatir karena anak-anak mereka dinilai “berbeda” dengan rekan-rekan mereka. Entah dari prestasinya, sikap dan perilakunya, sifatnya, sampai dengan fisiknya. Jeli sekali pengamatan para orang tua, jika sudah menyangkut perbedaan pada anak-anaknya. Selanjutnya, orang tua cenderung berpikir “anak saya membutuhkan terapi” Artikel ini, tidak mengajak pembaca untuk mengenal ciri-ciri anak bermasalah, namun mengajak pembaca untuk memahami, dari mana munculnya keresahan tersebut.
3.      Tidak semua perbedaan yang kita lihat pada anak merupakan hal yang negatif, dan tidak semua juga positif. Orang tua seringkali lupa, bahwa ada faktor-faktor tertentu yang mempengaruhi perbedaan setiap anak yaitu :
1.   Faktor biologis & genetika (keturunan)
2.   Faktor pola asuh
3.   Faktor lingkungan
4.   Faktor pendidikan
5.   Faktor pengalaman (perjalanan dan pengalaman hidup sehari-hari)
4.      Tidak ada satu orang pun di dunia ini yang memiliki kondisi persis sama, bahkan kakak beradik atau anak kembar sekali pun, mengalami kondisi yang berbeda ketika mereka tumbuh dan dibesarkan. Intinya, tak ada satu manusia pun di dunia yang segala sesuatunya sama persis.
3.4.2. Remaja
a.    Banyak orangtua yang memiliki anak berusia remaja merasakan bahwa usia remaja adalah waktu yang sulit. Banyak konflik yang dihadapi oleh orangtua dan remaja itu sendiri. Banyak orangtua yang tetap menganggap anak remaja mereka masih perlu dilindungi dengan ketat sebab di mata orangtua para anak remaja mereka masih belum siap menghadapi tantangan dunia orang dewasa. Sebaliknya, bagi para remaja, tuntutan internal membawa mereka pada keinginan untuk mencari jatidiri yang mandiri dari pengaruh orangtua.
b.    Merespon Emosi. Kita cenderung lebih menyadari emosi bila upaya kita dalam mencapai tujuan dihambat (marah, sedih, frustrasi, kecewa). Atau sebaliknya bila tujuan kita tercapai (senang, gembira). Bila ditelaah lebih lanjut emosi akan menjadi semakin jelas peranannya bila kita dapat mengingat beberapa hal berikut:
1.   Hampir seluruh suka dan duka dalam hidup ini berhubungan dengan emosi
2.   Seringkali perilaku manusia dihasilkan oleh kekuatan emosional (meskipun beberapa pandangan menyatakan banyak perilaku berdasarkan alasan logis dan objektif)
3.   Seringkali pertentangan antar pribadi dihasilkan karena penonjolan emosi (sombong, marah, cemburu, frustrasi)
4.   Pertemuan antar pribadi seringkali disebabkan emosi seperti belaskasih, sayang, perasaan tertarik.
3.4.3. Dewasa
a.    Depresi dan Reformasi Diri. Banyak hal dalam hidup orang dewasa yang bisa menjadi "kambing hitam" atau alasan seseorang menjadi depresi. Depresi bisa melanda siapa saja tanpa pandang bulu, namun depresi pun bisa diatasi oleh siapa saja dengan kondisi-kondisi tertentu. Kalau dipikir-pikir, mengatasi depresi bisa dibilang sebuah pilihan sikap.
b.    Kecanduan cinta. Istilah kecanduan cinta mungkin bukan istilah yang umum terdengar. Istilah yang sudah umum beredar seperti kecanduan minum, alkohol, narkoba, rokok, kerja, dan lain sebagainya. Meski pun “barang” nya cinta, bukan berarti aman-aman saja bagi pecandunya dan tidak membawa dampak apapun juga. Justru, dampak dari kecanduan cinta ini sama buruknya untuk kesehatan jiwa seseorang. Buktinya, sudah banyak kasus bunuh diri atau pembunuhan yang terjadi akibat kecanduan cinta meski korban maupun pelaku sama-sama tidak menyadarinya.
3.4.4. Usia Lanjut
a.    Pada lansia yang sehat, kepribadiannya tetap berfungsi dengan baik, kecuali kalau mereka mengalami gangguan kesehatan jiwanya atau tergolong patologik. Sifat kepribadian seseorang sewaktu muda akan lebih nampak jelas setelah memasuki lansia sehingga masa muda diartikan sebagai karikatur kepribadian lansia. Dengan memahami kepribadian lansia tentu akan lebih memudahkan masyarakat secara umum dan anggota keluarga lansia tersebut secara khusus, dalam memperlakukan lansia dan sangat berguna bagi kita dalam mempersiapkan diri jika suatu hari nanti memasuki masa lansia. Adapun beberapa tipe kepribadian lansia adalah sebagai berikut:
1.   Tipe kepribadian Konstruktif. Model kepribadian tipe ini sejak muda umumnya mudah menyesuaikan diri dengan baik terhadap perubahan dan pola kehidupannya. Sejak muda perilakunya positif dan konstruktif serta hampir tidak pernah bermasalah, baik di rumah, di sekolah maupun dalam pergaulan sosial. Perilakunya baik, adaptif, aktif, dinamis, sehingga setelah selesai mengikuti studi ia mendapatkan pekerjaan juga dengan mudah dan dalam bekerjapun tidak bermasalah.
2.   Tipe Kepribadian Mandiri. Model kepribadian tipe ini sejak masa muda dikenal sebagai orang yang aktif dan dinamis dalam pergaulan sosial, senang menolong orang lain, memiliki penyesuaian diri yang cepat dan baik, banyak memiliki kawan dekat namun sering menolak pertolongan atau bantuan orang lain. Tipe kepribadian ini seolah-olah pada dirinya memiliki prinsip “jangan menyusahkan orang lain” tetapi menolong orang lain itu penting.
3.   Tipe kepribadian tergantung. Tipe kepribadian ini ditandai dengan perilaku yang pasif dan tidak berambisi sejak anak-anak, remaja dan masa muda. Kegiatan yang dilakukannya cenderung didasari oleh ikut-ikutan karena diajak oleh temannya atau orang lain. Karena pasif dan tergantung, maka jika tidak ada teman yang mengajak, timbul pikiran yang optimistik, namun sukar melaksanakan kehendaknya, karena kurang memiliki inisiatif dan kreativitas untuk menghadapi hal-hal yang nyata.
4.   Tipe Kepribadian bermusuhan. Adalah model kepribadian yang tidak disenangi orang, karena perilakunya cenderung sewenang-wenang, galak, kejam, agresif, semauanya sendiri dan sebagainya.
5.   Tipe kepribadian kritik diri. Ini ditandai adanya sifat-sifat yang sering menyesali diri dan mengkritik dirinya sendiri. Misalnya merasa bodoh, pendek, kurus, terlalu tinggi, terlalu gemuk dan sebagainya, yang menggambarkan bahwa mereka tidak puas dengan keberadaan dirinya. Sejak menjadi siswa mereka tidak memiliki ambisi namun kritik terhadap dirinya banyak dilontarkan.


By. Abdul Halim Harahap S.Ked
07171094

Tidak ada komentar:

Posting Komentar